Lihat ke Halaman Asli

Ketika Agama Jadi Tameng Kejahatan

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika jumlah rumah ibadah bisa dijadikan ukuran religiusitas sebuah bangsa, pastilah bangsa Indonesia menempati ranking pertama sebagai bangsa paling religious di dunia. Jika model busana yang dikenakan bisa dijadikan gambaran keberimanan seorang manusia, maka manusia Indonesia mestinya adalah golongan manusia paling shaleh di dunia.

Berikutnya jika kitab suci agama-agama yang diklaim oleh penganutnya sebagai sumber kebenaran hakiki bisa menjadi pengatur hidup manusia agar selalu benar, maka seyogyanya bangsa ini menjadi bangsa yang paling tertib, damai, dan santun di kolonglangit.

Juga, bila intensitas peribadatan individu umat beragama di republic yang dilalui garis katulistiwa terpanjang dibumi ini bisa dijadikan gambaran intensifnya komunikasi manusia dengan Tuhannya, maka manusia Indonesia mestilah manusia yang paling dekat dengan Tuhan.

Dan… jika doa-doa penghamba kuasa Tuhan memang bersambut, ada yang mendengar dan meresponnya, maka semestinya bangsa Indonesia adalah bangsa paling mamur, gemah ripah loh jinawi, di dunia.

Akan tetapi, anehnya…

Jutaan rumah ibadah, jutaan kitab suci, jutaan orang berbusana paling agamis, jutaan ritual peribadatan, serta jutaan doa dipanjatkan, seakan makin menjauhkan bangsa ini dari gambaran bangsa yang dirahmati.

Beragam kejahatan seakan berlomba berebut predikat “ter, ter, ter…” di negeri ini. Kejahatan korupsi, sebagai contoh, selalu menempati peringkat teratas dunia. Peredaran dan penyalahgunaan narkoba sudah menyentuh angka yang membuat miris.

Pelacuran dan pornografi, yang konon diharamkan oleh semua agama di nusantara ini, faktanya kian menggila, dimana kalangan pelajar pun sudah membiasakan diri dengan “arisan berhadiah tidur dengan pelacur”.

Itu baru soal perbuatan yang jelas definisi dan hukuman/sanksinya menurut ajaran agama-agama.Jika kejahatan lain berupa kekerasan antar kelompok masyarakat (seperti tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, kekerasan kaum buruh, kerusuhan antar etnis, bentrok antar simpatisan politik) dimasukkan sebagai indicator kekacauan sebuah negeri, maka lengkap sudah ketakberadaban anak negeri yang dulu dikenal sebagai bangsa yang sangat ramah ini.

Lalu apa yang salah…?

Entahlah. Karena kebenaran itu bersifat nisbi, kita pun menjadi sulit untuk menilai, apalagi menetapkan apa itu kesalahan.Yang pasti banyak fenomena social yang ganjil dan lucu yang dipertontonkan oleh sebagian (besar) masyarakat di negeri ini, antara lain:


  1. Ada yang mendadak rajin mengenakan pakaian yang mengesankan pemakainya orang shaleh ketika dia sedang giat menggalang dukungan masyarakat saat berkampanye mencalokan diri sebagai anggota legeslatif atau kepala daerah; atau ketika menghadiri sidang perkara dimana dirinya menjadi tersangka kasus kejahatan.
  2. Ada orang yang sibuk mengumbar ayat-ayat kitab suci untuk membenarkan tindakannya berpoligami atau mengawini anak di bawah umur.
  3. Ada juga yang setiap kali berceramah selalu mengatakan bahwa agamanya adalah kebenaran dan rahmat bagi alam semesta, tetapi sehari-harinya selalu mempertontonkan kekerasan verbal atau fisik kepada pihak-pihak yang tak sepaham dengan dirinya.
  4. Ada juga yang selalu mengepalkan tangan ganyang koruptor, ternyata dirinya sendiri bagian dari jamaah ritual korupsi tersebut.
  5. Ada pula yang sangat getol meneriakkan basmi pronografi, eh ternyata dia juga suka membuka situs-situs porno.
  6. Tidak sedikit orang yang tahu bahwa beribadah (bersedekah misalnya) haruslah didasarkan pada rasa ikhlas, tetapi faktanya dia mengundang wartawan saat mengumpulkan fakir miskin sekedar untuk memperlihatkan bahwa dia sedang berderma membagikan amplop berisi uang 20 ribuan rupiah saja.
  7. Tak terhitung pula banyaknya pemimpin umat beragama yang selalu mendakwahkan tentang pentingnya hidup hemat dan sederhana, eh dia sendiri hidup glamour penuh dengan kemewahan.

Agama hanya jadi tameng

Agaknya agama yang dianut, tuhan yang diimani, ritual yang dijalani, dan doa yang dibaca tidaklah menjadi pangikat dan pengekang (kebanyakan) rakyat negeri ini untuk berbuat memenuhi tuntutan naluri hewaniahnya.

Mengapa paradox perilaku itu terjadi? Karena, agama dan tuhan tidaklah efektif menjadi sandaran untuk mengatur kehidupan manusia.Itu sebabnya manusia harus merumuskan sendiriaturan moralnya, hukum, dan perundang-undangan sesuai dengan perkembangan jaman dan peradaban.

Agama hanya cocok menjadi tempat bersembunyi (kamuflase) paling nyaman bagi jiwa-jiwa busuk yang serakah, culas, dan kejam.

Faktanya, orang yang berhasil menyembunyikan kebusukannya dengan tameng agama itu hidupnya justru dimuliakan. Dia disanjung dan diidolakan. Mati penuh kehormatan, ke liang lahat dia diringi tangis orang seantero negeri.Itulah syurga.

Jadi…jika agama hanya berguna untuk melindung manusia berhati busuk. Untuk apa didipertahankan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline