Lihat ke Halaman Asli

Cara Atheist Menciptakan Takdir [Mengenang Kematian Konduktor Edward Downes]

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Edward Thomas ‘Ted’ Downes adalah  salah seorang musisi dan kritikus musik kenamaan Inggris. Pria yang dianugrahi oleh Kerajaan Inggris gelar Sir itu  lebih dari lima decade mengabdikan diri sebagai konduktor kerajaan Inggris, tepatnya di Covent Garden, Royal Opera House.

Di usia senjanya, Edward Downes, menderita ketulian dan kebutaan. Dengan kondisi fisik seperti itu paraktis dia bergantung penuh pada perawatan istrinya, Joan Weston Downes, seorang mantan penari pada The Royal Ballet.

Tragisnya, saat  Sir Downes yang menderita buta dan tuli memasuksi usia 85 dan Lady Downes memasuki usia 74 tahun, sang Lady jatuh sakit akibat kanker hati dan pancreas. Dokter memvonis bahwa hidup Sang Putri  hanya bisa bertahan selama hitungan minggu.

Mendengar vonis itu maka Edwards merasa bahwa dia mustahil bisa hidup tanpa sang istri tercinta. Sebaliknya, Joan pun merasa tak tega meninggalkan sang suami,  oleh sebab itu dia mutuskan untuk mati bersama. Kekuatan cinta psangan ini dibenarkan anak mereka Caractacus (lelaki kelahiran 1967) bahwa kedua orang tuanya adalah pasangan cinta sejati yang sulit dipisahkan.

Keinginan mati bersama itu mendorong mereka  pergi ke Swiss untuk meminta bantuan dari  kelompok yang mau ‘melayani’ permintaan orang untuk melakukan bunuh diri berbantuan (assisted-suicide) yang bernama Dignitas.

Maka, pada tanggal 10 Juli 2009 terjadilah peristiwa yang mendapat liputan luas media massa tersebut. Edward dan Joan Downes meninggal berdampingan, bergandengan tangan, dalam keadaan tenang setelah diberi minum zat penenang ‘barbiturate’ dengan dosis mematikan di Klinik Dignitas Swiss.

Yang banyak diperbincangkan orang dari kisah Edward dan Joan Downes adalah pengakuan atheistic  Joan dalam surat untuk keluarganya (anak dan cucunya) yang berbunyi:

‘Now, I must tell you that even though I had hoped to be around a bit longer, death doesn’t worry me at all.’

‘I have no religion and as far as I am concerned it will be an “offswitch” so after you have thought about it a bit don’t worry.’

‘It has been a happy and interesting life and I have no regrets. I have no idea how long I will last but I send love to you all and your extensive families.

‘Enjoy it while it lasts.

‘With love to you all, Joan.’

Yang menarik dari kisah dua sejoli atheist itu adalah betapa takdir kematian manusia—waktu, tempat, dan cara mati—yang dipandang oleh penganut agama sebagai sebuah misteri menjadi keyakinan yang absurd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline