Aku baru sadar kalau beberapa hari lalu telah melakukan sebuah perbuatan yang bisa dibilang gila. Bagaimana tidak, hanya untuk menikmati sarapan saja aku menempuh perjalanan satu jam lebih di ketinggian sekitar 1000 mdpl. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar special degan satu mangkok porsi di warung tertinggi di Blitar itu, namun pengorbanan tersebut terbayar lunas dengan apa yang aku rasakan.
Pagi itu aku mendapat ajakan seorang teman untuk sarapan bareng. Mumpung ada temennya sarapan aku mengajaknya untuk kulineran di tempat yang agak jauh dikit dari Kota Blitar. Setelah mencari referensi di salah satu akun instagram hits di Blitar, akhirnya kami pun memutuskan untuk sarapan di Soto Gurit daerah Wlingi yang jaraknya sekitar 20km dari tempat tinggalku.
Kata akun instagram itu, soto ini merupakan legendaris di daerah Wlingi, Blitar. Satu yang kami harapkan ketika perjalanan dimulai pada pukul 08.00 pagi. Semoga soto tersebut masih tersedia untuk kami. Karena kalau namanya sudah cukup terkenal, apalagi warung yang buka di pagi hari itu rentan habis. Padahal sepanjang jalan aku sudah membayangkan enaknya salah satu Soto Legendaris di Wlingi.
Berbekal arahan yang ada di instagram, akhirnya aku pun sampai di warung yang tempatnya agak nylempit. Dan benar, ketika kami sampai di warung itu ibuknya bilang "sampun telas mas". Ucapan yang terdengar ketika baru saja berhenti dan belum sempat mematikan motor apalagi turun. Hancur harapan menikmati sebuah warung soto legendaris di Wlingi itu.
Karena sudah terlanjur sampai di Wlingi, akhirnya kami pun sempat bingung mau cari kuliner apa yang sekiranya bisa membayar pengorbanan waktu dan bensin yang sudah kami keluarkan. Karena belum nemu banyak referensi tentang kuliner di daerah Wlingi, akhirnya aku pun nyeletuk "Ke Warungnya Bu Tia Yuk"/ Tanpa pikir lama lagi akhirnya kami mulai perjalanan kuliner gila tersebut.
Dari Wlingi menuju Warung Bu Tia di Kawasan Perkebunan Teh Sirah Kencong membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Padahal jaraknya hanya sekitar 12 km dari Wlingi. Namun karena jalanya enggak semulus paha ceribel membutuhkan waktu yang cukup lama. Perjalanan naik turun bukit melewati beberapa perumahan perkebunan yang tersusun apik memberikan kenikmatan sendiri selama perjalanan.
Akhirnya kami pun sampai di kawasan perkebunan sirah kencong, untuk memasuki wilayah ini kami harus membayar retribusi sebesar 10 ribu dengan rincian, 4 ribu per orang dan 2 ribu satu motor. Kami tidak ada niatan menikmati keindahan air terjun sirahkencong maupun indahnya motif yang tampak di perkebunan teh. Karena tujuan utama kami adalah SARAPAN!
Tidak sulit menemukan warung bu tia yang tampak dari pintu masuk perkebunan. Sebuah rumah dengan gazebo dan gemricik air kolam berhiaskan ikan koi benar-benar mendamaikan hati. Lapar dan capek selama perjalanan terbayar lunas ketika sampai di warungnya. Padahal sebenarnya rasa lapar itu NYATA adanya.
Pagi itu ada 3 menu tersedia di warungnya, yaitu Soto Ayam, Nasi Pecel dan Mie Instant. Karena tadinya niat cari Soto, aku memesan Soto Ayam sedangkan temanku memesan Nasi Pecel dengan lauk telur dadar. Sambil menunggu makanan disajikan, kami mengobrol dengan salah seorang pegawai perkebunan yang juga sedang menikmati sarapan di warung tersebut.
Segelas teh hitam khas perkebunan sirah kencong dengan tambahan susu mengiringi obrolan ringan kami tentang kawasan sirah kencong. Mulai dari jalur pendakian ke Gunung Buthak, hingga beberapa kejadian di kawasan tersebut. Banyak yang kami bicarakan di pagi yang sejuk meski jam sudah menujukkan pukul 10 pagi.
Tidak disangka, akhirnya pesanan kami pun datang dan bapaknya pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Baru satu suap soto ayam masuk ke mulut, subhanallah rasanya bener-bener luar biasa nikmatnya. Sesuap soto dengan latar belakang perkebunan teh nan hijau dengan efek suara gemricik air yang menentramkan memberikan kenikmatan sendiri. Ini memang bukan pertama kalinya menikmati sarapan di warung bu tia, namun ini pertama kalinya aku datang ke warung ini hanya untuk sarapan! Dan rasanya bener-bener beda dengan biasanya.