Lihat ke Halaman Asli

Pengabdianku di Sisa Usia (Taubatnya Mantan Preman)

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi orang baik memang tidak mudah, terlebih bagi mereka yang masa lalunya suram. Siapa pula yang mau percaya begitu saja kepada manusia yang pernah bergelimang dosa. Namun berkat kesabaran dan tekad yang kuat akhirnya dia bertobat, mengubur dalam-dalam dunia kelam itu.

Epni Syah merasakan betul, betapa beratnya ketika memutuskan untuk kembali hidup di jalan yang lurus. Butuh perjuangan dan kesabaran ekstra. Mantan preman di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dulu “bergelar” Zombie ini bersyukur bisa insyaf sebelum ajal menjemput. Meski terasa pahit dan menyesakkan dada, lantaran derasnya godaan yang terus menerjang. Belum lagi fitnah, cemoohan dan selalu menjadi kambing hitam dari masyarakat kerap dialamatkan padanya.

“Syukur Alhamdulillah, kesabaran dan sisa iman saya, ya meskipun hanya sedikit, saya bisa bertahan. Semua itu atas kuasa dan pertolongan Allah serta bimbingan para habib di sini. Dan subhanallah, Allah mengirimkan seorang perempuan yang begitu sabarnya membuka gelapnya hati saya dulu,” kata lelaki bertubuh kekar kelahiran Bogor, 15 September 1957, mengawali kisahnya kepada Manasik, baru-baru ini.

Sore itu, berbaju koko dan peci putih, pria yang hingga kini masih disapa Bang Zombie tersebut tampak gesit membersihkan bagian-bagian Masjid Ar Riyadh di kawasan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat. Selain bersih-bersih di masjid yang terdapat makam ulama besar Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi itu, dia mendapat tugas merawat makam yang terletak di belakang masjid. “Saya pun tidak menyangka akhirnya kini hidup saya tak lepas dari masjid ini. Siapa coba yang nyangka kalau dulu hidup saya berkubang nista,” ujarnya yang sudah mengabdi selama 33 tahun sebagai marbot di masjid bersejarah itu.

Dulu, semasa mudanya, ia habiskan dengan mabuk-mabukan, menodong, merampok dan aksi kriminal lainnya. Keluar masuk penjara baginya sudah biasa. Hidup sebagai buronan pun kerap dilakoni. Pergaulan yang salah, pendidikan tidak beres, dan kurangnya kasih sayang orangtua membuatnya terjun di dunia maksiat sejak remaja. Kelakuannya kian beringas, ketika rumah tangga yang dibinanya berantakan di tengah jalan lantaran sang istri pergi meninggalkannya.

Pertemuannya dengan Suhana, perempuan yang kini menjadi istri dan ibu dari tiga anak itu mengubah jalan hidupnya. Sejak awal pertemuan, Suhana menegaskan, bahwa kelak, ia dan anak-anak tidak sudi dinafkahi dengan uang haram. Dengan telaten dan yakin, akhirnya Suhana mampu meluluhkan hatinya yang keras dan dipenuhi nafsu setan. Perlahan, Epni pun bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. “Ibarat batu kalau ditetesi air, lambat laun akan berlubang juga. Itulah yang dilakukan istri saya yang selalu sabar mengingatkan saya untuk kembali di jalan Allah,” ujarnya.

Memang, pada mulanya begitu sulit meninggalkan kebisaan lama. Selain sebagai marbot, Epni yang memiliki keahlian instalasi listrik kerap diminta bantuan orang. Di saat itulah godaan selalu datang saat melihat benda-benda berharga di rumah orang. Pun ketika dititipi uang dalam jumlah besar untuk pembangunan masjid, selalu saja rayuan iblis menghampiri. Alhamdulillah sisa iman yang ada masih menyelamatkan diri ini,” katanya. Dia menambahkan, tidak hanya aneka godaan, tapi fitnah para tetangga juga sering melukai istri dan anak-anak.

Sebelumnya, di sela bertugas sebagai marbot, dia pernah menyambi sebagai supir pribadi. Itu hanya bertahan dua tahun. Akhirnya, Epni menetapkan hati mengabdi sepenuhnya di masjid. Meskipun honor yang diterimanya cuma Rp 200 ribu per bulan. Bisa dibayangkan, mana cukup uang sebesar untuk menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Tapi atas Kuasa Allah, dari penghasilan itu ia mampu menyekolahkan dua anaknya hingga lulus SMA. Hingga kini, Epni tak tahu darimana asal uang untuk membiayai anak-anaknya, tapi seolah rezeki selalu mengelilinginya.

Pernah suatu ketika, pada Idul Fitri tahun 1997, Epni sekeluarga hanya bisa menangis dan menahan sedih lantaran tak ada uang sepeserpun untuk merayakan Lebaran. “Kami benar-benar nggak punya apapun saat itu. Tak ada beras, ketupat, apalagi daging. Ditambah lagi saya sedang sakit dan anak-anak butuh biaya sekolah. Istri saya menangis, begitupun saya. Bahkan saking nggak ada uang sepeserpun, saya sempat terbersit untuk kembali merampok. Tapi istri saya bilang, kita memang miskin tapi masih ada yang lebih miskin dari kita, mereka yang tidak punya iman,” tutur anak bungsu dari enam bersaudara ini lirih.

Di sisa usianya, Epni mendedikasikan hidup menjadi marbot masjid. Kendati dapat honor sangat minim, dia tetap menjalaninya dengan ikhlas. Hanya satu keinginannya, dengan pengabdian itu, Epni berharap Allah berkenan mengampuni dosa-dosanya di masa lalu. “Istri saya juga nggak pernah mengeluh, baginya yang penting penghasilan halal. Alhamdulillah Allah ridha, ada saja rezeki. Kami juga masih bisa hidup sampai sekarang,” ujarnya. Terlihat dia melantunkan ayat-ayat Suci dan doa-doa yang diajarkan sang guru, Habib Ali Kwitang Rahimahullah..

(kenuk kurniasih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline