Lihat ke Halaman Asli

Perjuangan Berat Sang Pengasong Cacat...

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketidaksempurnaan fisik tak lantas membuatnya menyerah. Demi menyambung hidup di Ibu Kota, demi segelas susu untuk sang buah hati, dia rela mengasong di bus kota sebagai satu-satunya cara mencari nafkah yang halal dan berkah.

Di tengah terik matahari siang itu, Sulaiman bersiap meneruskan aktivitasnya sebagai pengasong di shelter alias halte bus kota, depan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Sebentar-sebentar dia berdiri mematung. Sorot matanya tajam ke depan, memperhatikan lalu-lalang bus kota, siapa tahu ada yang berhenti untuk ngetem.

Tangan kiri menenteng kantong plastik berisi barang dagangan, sementara tangan kanan memegang tongkat. Ya, pria yang biasa dipanggil Sule ini memang menderita cacat kaki. Pincang. Tak jarang, keberadaannya di kawasan itu kerap mencuri perhatian para pejalan kaki. Dan ketika ada bus ngetem, dengan sigap dia merangkak naik ke dalam bus, lalu menawarkan barang dagangan, yakni tisu.

Dengan kondisi fisik seperti itu, naik-turun bus jelas bukan perkara mudah bagi Sulaiman. Terlebih lagi, ketika bus kota sesak dengan penumpang. Namun, bayangan wajah Nadiyah, buah hati hasil pernikahan dengan Siti, terus memompa semangat Sulaiman mencari nafkah. Ketika dia terjatuh, kebanyakan orang hanya menonton. Tapi, terkadang pula ada saja orang yang iba, lalu menolongnya.

“Jatuh sihseringbanget. Juga, diomelin supir atau kondektur bus, itu sudah biasa. Sering pula dagangan dipalak preman. Kalau saya lawan mereka yang ada malah bonyok, mending saya ngalah. Nah, kalau saya sakit gimana? Siapa yang biayain anak istri saya?” tutur Sulaiman kepada Manasik, baru-baru ini.

Dari jerih payah mengasong seharian, tidak banyak hasil yang bisa dibawa pulang Sulaiman. Jika sedang ramai, dengan hanya mengambil selisih keuntungan Rp 700 per bungkus, dia bisa mengantongi pendapatan Rp 80 ribu sehari. Tapi bila sedang sepi, kadang hanya bisa mengantongi Rp 30 ribu saja. Dari keuntungan itu, ia dan istri musti pintar membagi, untuk bayar kontrakan, membeli susu dan makanan bayi, juga biaya makan.

“Untuk keperluan ngontrak saja Rp 350 ribu, belum lagi susu dan makanan bayi. Jadi tak heran bila saya dan istri harus menahan lapar hingga esok hari, asal kebutuhan perut Nadiyah tercukupi. Untungnya, istri mengerti dengan kondisi ini,” ujar Sulaiman lirih.

Keluarga Sulaiman pun harus berdamai dengan kondisi kontrakan seluas 12 meter persegi. Tembok dinding bata merah yang masih belum sempat diplester semen itu terpaksa ditutup dengan kain seadanya. “Biar Nadiyah nggak kena debu,” kata pria kelahiran Bogor, 24 tahun silam ini.

Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan kesulitan hidup masih terus dialami hingga sekarang. Bahkan, faktor keamanan dirinya sebagai pedagang asongan sering terabaikan. Tak jarang Sulaiman pun harus kucing-kucingan dengan aparat Satpol PP.

Lantaran keterbatasan ekonomi, Sulaiman hampir tidak pernah berkomunikasi dengan sanak saudaranya di kampung. Bahkan, dia pun baru mengetahui kalau ayahnya sudah tiada, saat mudik Lebaran lalu. Menyedihkan. Padahal, sang ayah meninggal pada awal Januari 2014.“Sedih banget, belum sempat lihat bapak,” tuturnya.

Sulaiman mengaku tidak mau selamanya hidup atau mencari nafkah dengan mengasong. Dia bercita-cita suatu hari nanti bisa memiliki warung buah-buahan. Dengan begitu, dia tak perlu lagi harus berlari mengejar dan naik turun bus kota. “Itu keinginan saya. Meski saat ini masih belum punya tabungan, Insya Allah ada jalan, selagi kita mau berusaha,” katanya.

Sulaiman selanjutnya memasrahkan keinginannya itu pada pertolongan Sang Maha Pencipta. Yang jelas, hingga hari ini dengan penuh semangat dia terus menjajakan dagangan, melawan terik matahari dan dingin malam. Berpindah dari satu bus kota ke bus kota lain. Bertaruh nyawa demi hasil yang serba tidak pasti. Entah sampai kapan lakon hidup demikian akan berjalan?

(kenuk kurniasih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline