Oleh : Ndr. Ayu Nurdiana
(02:15 AM)
Dan aku masih setia pada lembar-lembar terakhir novel usang yang bahkan tak kupahami apa yang baru saja kubaca huruf demi huruf dalam susunan kata-kata. Sesekali kudengar ayam rumah tetangga berkokok dari jendela kamarku yang sengaja tak ingin kututup rapat malam ini. Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela membuatku sedikit merasa lega, bahwa setidaknya ada yang bersedia memelukku walaupun hanya angin malam.
Entah apa yang mengusik kesehatanku akhir-akhir ini. Objek pandang mataku terasa semakin buram, apa minusnya bertambah, begitu pikirku. Kulit dan bibirku mengering, terlebih akan terasa perih jika bergesekan dengan suatu benda bertekstur agak keras, rambutku yang panjang kian menipis akibat rontok yang terlihat tak wajar, namun aku adalah orang yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada rambut, toh akan tertutup hijab juga. Satu lagi, persendian seringkali terasa nyeri, terutama ketika melakukan gerakan shalat, hingga terkadang ingin menjerit didalam hati rasanya. "Ya Allah, sakit sekali!".
Sepertinya malam ini cukup dingin. Peralihan musim panas pada musim hujan. Terdengar dari suara ngorok tetangga kamarku yang sepertinya terlelap nyenyak sekali. Bagai bayi baru lahir yang tertidur di pangkuan ibu sehabis diberi ASI. Tapi mengapa, dinginnya sungkan menyapaku?!. Tubuhku masih saja ingin duduk di hadapan kipas angin yang menyala. Benar-benar ada yang tak beres, gumamku dalam hati. Namun tak apalah, toh aku memang sedari dulu adalah orang yang berbeda dari orang lain. Begitu kata guru SD padaku. Jadi, mungkin tubuhku juga sedang berekspresi menjadi berbeda.
Seketika mataku melirik ke arah meja, kemudian ke rak buku dimana terdapat sebuah jam tangan kecil berwarna silver dengan angka-angka Arab yang diberikan seseorang, oleh-oleh dari Mesir katanya. Ternyata sudah pukul setengah empat pagi, artinya adzan subuh tak lebih dari setengah jam lagi. Belum ada tanda-tanda kantuk yang menghampiri. Padahal, dulunya aku adalah orang yang sangat posesif pada waktu istirahat, aku selalu tertidur pada jam sepuluh malam dan terbangun jam 4:30 pagi. Sudah sangat cukup untuk memulai hari dengan ceria dan bersemangat. Meski sebenarnya tak pernah ada yang menyemangati. Namun segalanya berubah sejak memasuki semester 5 pada bangku perkuliahan, banyaknya tugas dan tututan para dosen seringkali membuatku kalap, mungkin tak hanya aku, semua mahasiswa semester senja barangkali merasakan hal yang sama. Dikejar deadline, analisis teori, presentasi, terjemah, mencari naskah, dan segala warna warni drama didalamnya.
Tak beranjak, pandanganku masih terhenti pada jam tangan itu. Apakah gerangan, entah sebab pantulan cahaya yang bersumber darinya atau sosok pria yang menghadiahkannya padaku. Kuangkat pandanganku dari jam itu dan kupejamkan kedua mataku. Kuhela nafas dalam-dalam. Dan lagi-lagi, yang terbayang dalam kelopak mataku adalah wajah lelaki itu, pemuda yang belum bisa sepenuhnya kupercayai ketika ia berkata rindu padaku. Kupikir, jika benar rindu maka bukanlah hal yang sulit untuk sekedar meneleponku, atau hanya menyapa lewat pesan singkat. Sedangkan ia, seringkali kuperhatikan notifikasi whatsapp yang sedang 'online' namun tak sekalipun bersedia mengirim pesan padaku.
Dia tidak sedang benar-benar rindu. Barangkali balasan pesannya kemarin hanya untuk menghiburku, membalas rinduku yang tulus kusampaikan sebenar-benarnya. Gumamku sendiri. Pikiranku seolah berlarian kemana-mana. "Bukan tak mungkin, dia kan punya banyak fans ukhti-ukhti shalihah, para hafidzhah, bercadar dan tidak, cantik dan rupawan, bisa bebas pilih yang mana" kataku, mungkin sedang sibuk membalas pesan yang masuk dari mereka satu per satu. Bagai hilir dan mudik, jauh sekali jika dibandingkan denganku ini.
Ya, setidaknya aku mawas diri, aku sering bercermin dengan apa yang ada pada diri. Apa aku masuk dalam kriteria tipe nya? Aku kan biasa-biasa saja. Pun tak ada yang dapat kubanggakan dari diriku. Aku bingung apakah dia benar mencintaiku. Atau, pernahkah ia mencintaiku?. Mengapa ada kebingungan semacam ini di dunia. Seperti kebingungan yang dialami orang-orang yang sedang mencari tuhan atau kebahagiaan dengan tangan kosong. Mengapa ada kebingungan semacam ini dalam diriku? Apakah aku orang jahat? Walaupun setiap hari mataku telah berjumpa dengan ratusan pasang mata, dan bayanganku masih saja melukiskan dia yang jauh dan bahkan tak pernah memikirkanku, "Haha". Kutertawai khayalanku sendiri.
Tetapi hal itu secepat mungkin berlalu. Dunia ini dan diriku seketika kembali normal denganku yang masih terbaring di kasur dengan menanti rasa kantuk hinggap pada kelopak mata. Kupadukan kedua telapak tangan dan kuletakkan dibawah pipi. Desember, telah lewat setahun sejak pertama kali pria itu mengajakku berkenalan lewat instagram. "Assalamualaikum", aku masih ingat betul pesan pertama yang ia kirimkan padaku. Kemudian kupalingkan badanku ke sebelah kanan, berhadapan dengan tembok kamar yang setengahnya ku tempeli stiker bergambar bunga-bunga mawar kecil berwarna merah jambu. Aku suka bunga, aku suka warna merah muda, aku suka buah-buahan, dan aku paling suka berkhayal.
Ku ingat-ingat lagi, setahun lalu, mengapa aku begitu mudah memberikan nomer ponselku pada orang yang baru ku kenal beberapa menit sebelumnya, lewat media sosial, serta belum pernah kulihat wujud dan rupanya. Sedangkan sebelum itu, aku mati-matian tak ingin memberikan nomer ponselku pada seorang abang kelas yang sejak SMP hingga kini masih kembali mengejar perhatianku. Apa aku sudah gila. Atau, apa aku murahan?!. Saat itu, ku buka pofil akunnya. Kujelajahi satu persatu foto yang berderet di halaman instagram di layar ponselku. "Sepertinya orang baik-baik", ucapku dalam hati. Konyol, aku baru saja menjadi stalker bagi seorang yang kuhadiahi nomer whatsapp nan tak semua teman pria dapat memperolehnya dengan bebas.