Pria itu mulai tunduk setelah pagutan pertama. Ia menyerah saat aku melucuti pakaiannya, satu per satu. Bibirnya masih berkutat di bibirku saat ia melakukan hal yang sama, menelanjangiku. Tanganku mengencang di bahunya, menghadapkan punggungnya ke cermin. Di sana, aku semakin mendekati tujuanku. Aku bersama orang yang tepat.
Aku tak menolak dilemparnya ke ranjang. Telah kusiapkan hadiah untuknya di bawah bantal. Perkakas yang akan mengantarku pada kejayaan.
Tubuhku terduduk di atas perutnya dan ciuman kami menghasilkan desahan setiap matanya terbuka-menutup. Tangan kananku menelusup ke balik bantal. Setelahnya, pisau menancap tegas di dada kirinya. Ia mandi darah, menuju neraka.
Perlahan, kubalikkan tubuh kaku itu dan bersiap menguliti punggungnya. Sebuah jalan terbuka lebar untukku.
[AG, Mei 2011]
*ilustrasi diunduh dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H