Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Cemburu

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Sudah menikah, Mas?” Ini pertanyaan kesekian darinya. Bukan tanda tanya yang sulit kujawab. Hanya sedikit membuatku memutar otak. Apa aku terlihat lebih tua dari dua puluh dua tahun? Apa aku terlihat seperti ayah dari beberapa balita?

“Belum,” jawabku singkat. Bu Maya terlihat mengernyitkan dahi. Entah pertanda apa. Aku tak pandai menerka. Aku baru mengenalnya beberapa jenak lalu. Kami terduduk di rangkaian metalik memanjang. Kami sedang menunggu bus transjakarta datang.

“Punya pacar?” tanda tanya lagi, singkat.

“Ada. Satu. Pencemburu,” aku menjawabnya terpenggal-penggal.

“Bagus itu.”

“Apanya yang bagus?”

“Pencemburu.”

Ibu usia paruh baya itu memaksaku berpikir. Pencemburu itu baik. Aku tak yakin begitu. Pacarku yang satu yang pencemburu seringkali membuatku gerah berkepanjangan. Aku bagai bocah ingusan yang harus selalu melapor pada induknya jika ingin pergi ke sana sama si itu mau begitu.

“Saya nyaris tak pernah cemburu. Terlalu yakin suami saya tipe setia. Dia bicara A, saya percaya. Dia bicara do re mi fa, saya percaya. Itu buruk ternyata,” paparnya sebelum aku siap berkalimat menyoal pencemburu.

Bus yang kami tunggu datang –menggantungkan kalimat Bu Maya. Sejurus lalu kulihat ia agak kesulitan ambil langkah. Pincang kakinya. Sebelah. Penasaran mendudukkan aku di sampingnya –lagi. Dengan kesengajaan kali ini. Aku tak serta merta menanyakan perihal kepincangan kakinya. Otakku masih mengelana mencari kebaikan yang dibawa si pencemburu. Nyaris buntu.

Satu halte lagi sebelum aku membaur ke jalanan. Cepat-cepat kupecah diam. Tak ingin mati penasaran aku bertanya, “Kaki ibu kenapa?”

“Dilempar kursi jati oleh suami. Dia salah tingkah kepergok sedang sembunyi di balik rok anak perawan tetangga. Sejak itu saya belajar cemburu.”

“Ooh…” Hanya ooh? Ya, aku tak mampu berkalimat lebih panjang.

“Ibu mau kemana?”

“Rumah sakit.”

“Siapa yang sakit.”

“Suami. Raja singa.”

Pemberhentian selanjutnya, Dukuh Atas. Jagalah barang-barang Anda dan hati-hati melangkah.

[caption id="attachment_117851" align="alignnone" width="228" caption="http://dwellingintheword.wordpress.com"][/caption]

AG, 2010

--------------------------------------------------------------------------

*tengah malam di pinggir ibukota –setelah dapat pesan dari Kit Rose, “Dibawa nulis aja, anggap ga denger apa2. I know you can do it.” Tangapan dari kalimat “.. dan aku mencoba merapatkan telinga, tapi suara mereka terlalu lantang untuk tak kudengar"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline