Lihat ke Halaman Asli

Bulan Kedelapan

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari terakhir bulan pertama tahun itu.

Aku masih menunggumu. Sehari semalam sejak kemarin malam. Aku menunggumu sampai bosan itu datang lalu pergi lagi. Aku menunggumu dari terang hingga gelap merajai malam. Kau bilang akan datang malam ini membawa kembang cinta bersama hujan untukku. Kita akan bercinta di ruang persegi milikku dengan irama gendang-gendang hujan. Ini sudah tengah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis manis nan romantis yang menyisakan kunang-kunang.

Kau tak jadi datang.

Kau tersandung bulan yang separuh benderang.

Aku tetap menunggumu sampai esok pagi menyapaku.

-----------------------------------------------------------------------------------

Hari pertama bulan kedua tahun ini.
Sehari sebelum genap delapan bulan pergumulan kita.

Kau datang pagi ini tanpa kembang di tanganmu. Keletihan semalam yang kau hadiahkan untukku. Letih sekali hingga aku tak bisa melihat senyummu. Aku tahu kau kemana semalam. Kau bercinta dengannya yang kukenal sebulan lalu. Aku tahu kau selingkuh dari aku. Aku tahu sejak tak ada lagi senyummu bagiku. Sejak telingamu mulai merapat bagi kalimat-kalimatku. Sejak kau menemukan kembang yang lebih wangi tapi tak lebih indah dariku. Aku tahu aku dimadu. Kurelakan berbagi hatimu dengannya. Berbagi peluhmu dengannya. Berbagi kelaminmu dengannya. Aku bertahan dengan kerelaan yang menusuk tajam paru-paru. Sesak!

“Aku kira kau tak akan datang.”

“Kalau aku janji datang, maka aku datang.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline