Lihat ke Halaman Asli

Ketika "Like Mom, Like Daughter" Menjadi Sebuah Gunjingan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13259357721329677814

[caption id="attachment_162050" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Tidak selamanya predikat kemiripan ibu dengan anaknya dapat dijadikan kebanggan bagi sang anak. Terkadang orang tua dengan latar belakang masalah khusus atau memiliki masa lalu yang "kurang mengenakkan" memberikan "label" tersendiri dalam kehidupan sang anak.

Sebut saja, ibu A, seorang karyawati sebuah perusahan swasta di kota saya. Karna ibunya dianggap sebagai "tukang kawin', pada saat berselisih paham dengan suaminya, ia selalu mendengar kata-kata ejekan yang dilontarkan sang suami, seperti: "kamu sama seperti ibumu, jangan-jangan kamu mau menikah lagi ?" Hatinya begitu "tersayat" mendapat perlakukan seperti ini terus menerus.

Tidak hanya itu, gunjingan di lingkungannya sehari-hari bahkan di kantor, kerap dia dengar secara tidak langsung dari orang lain. Kalau sudah begini, tidak ada yang dapat dia lakukan, selain menangis dan menangis. Entah siapa yang mau disalahkan. Tidak mungkin masa lalu ibunya terhapuskan begitu saja,  sementara ia harus tetap melanjutkan hidup dan bersosialisasi bersama lingkungannya. Kadang ia putus asa, ingin sekali meninggalkan kota kelahiranya dan merantau ke daerah lain, membawa serta anak dan suaminya. Namun keinginan itu tidak dapat ia lakukan, karena sang suami seorang pegawai penting sebuah instansi pemerintah.

Lalu apa yang harus dia lakukan, menceraikan suaminya ? Tidak mungkin ! Selain tidak mau mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan ibunya. Dia memang sudah berkomitmen untuk tetap mempertahankan keutuhan keluarganya hingga kapanpun, apalagi ia sangat mencinta suami dan anak-anaknya.

***

Cerita di atas dituturkan oleh seorang teman, mengisahkan bagaimana seorang anak yang harus menanggung malu "aib" keluarga, khususnya ibunya. Setelah mendengarkannya, sayapun akhirnya berpikir dan melakukan introspeksi diri. Sejauh mana saya sudah menjadi seorang ibu yang baik untuk anak saya. Bahkan saya menilik kembali perjalan kehidupan orang tua saya dulu. Memang tidak mudah menjadi orang tua selama label masa lalu keluarga akan selalu menempel pada kehidupan setiap anak. Apalagi pada seorang ibu seperti saya. Masa lalu keluarga bahkan masa lalu saya tidak mungkin terhapuskan begitu saja. Kelak anak saya mungkin juga akan mendengar "kasak-kusuk" cerita yang tak sedap, apalagi sudah ditambahi "bumbu" macam-macam.

Saya tidak dapat membayangkan anak yang terlahir dari keluarga yang bermasalah dan memiliki latar cerita lama yang "gelap" dan "suram". Misalnya (maaf) anak seorang wanita tuna susila (WTS), bagaimana ia dapat menjalani hidupnya. Mungkin merantau jauh dari kehidupan lamanya menjadi pilihan terbaik. Namun bagaimana kelak kalau dia menikah dan kemudian calon mertua ingin mengenal keluarganya ? Apakah ia harus berbohong untuk menutupi latar belakang keluarganya? Suatu pilihan yang tak mudah bagi dirinya, mengingat banyak orang hanya melihat dari sisi buruknya saja. Padahal kalo dipikir lagi tentu dia tidak memilih untuk dilahirkan dari seorang ibu yang berprofesi sebagai WTS bukan? Dan tentunya dia ingin menjadi pribadi yang lebih baik dari ibunya.

Setiap orang tentu memiliki masa lalu entah dengan latar belakang masalah yang "fatal " atau yang dianggap biasa-biasa saja. Tetapi yang namanya masalah tetap saja masalah, dapat saja terungkap di kemudian hari dan dapat mengganggu kehidupan setiap orang pada masa kini. Namun tentu ada banyak cara untuk mengatasinya, ada yang dapat melaluinya dengan baik tanpa merasa beban namun ada juga yang melaluinya dengan hidup yang penuh misteri yang sengaja ditutup-tutupi. Itu semua toh menjadi sah-sah saja , karena setiap orang berhak menentukan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri dan masa depannya.

Cerita diatas mungkin merupakan cerita biasa yang pernah kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Namun bagi saya pribadi cerita dan pengalaman seperti ini mendorong saya untuk menjadi ibu yang terbaik buat anak-anak saya maupun keturunan saya kelak nanti.  Tentu bagai semua wanita yang sudah menjadi ibu atau calon ibu memiliki keinginan dan tujuan hidup yang sama dengan saya, jadi marilah kita melanjutkan hidup ini dengan berusaha untuk menjadi ibu yang baik buat anak-anak kita.

Salam hangat,

13258829481237935389




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline