Lihat ke Halaman Asli

Jalan-jalan ke Makam Sunan Bayat

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari telah beranjak dari peraduannya saat aku dan teman-teman memulai perjalanan pagi ini. Pagi yang lumayan cerah meski tadi sempat terguyur hujan. Awan yang terlihat putih biru itu mengintip kami semua dalam menyusuri jalan demi jalan menuju tempat yang kami tuju. Tempat yang di maksud adalah Makam Sunan Bayat, satu lagi aku lupa namanya.

Perjalanan menuju Makam Sunan Bayat sangat mengasyikkan. Dengan kecepatan sedang, aku dapat menikmati keindahan alam yang terbentang kehijauan. Menyejukkan mata. Berkali-kali aku harus memuji keindahan tersebut. Jogja memang selalu membuatku takjub dengan segala kejutannya. Sepanjang perjalanan, aku disambut oleh sawah-sawah, pepohonan rindang, jalan aspal yang mulus, serta wanita-wanita cantik. Oups, keceplosan. Aku kan sudah punya pandangan cewek sendiri.

Sekitar satu jam kemudian, aku telah sampai di lokasi Sunan Bayat. Tidak ada tempat parkir resmi di sini. So, aku harus memakirkan motor di salah satu rumah penduduk. Tarifnya Rp 2000/motor. Lumayan murah.

Diluar dugaan, jalan menuju makam harus menaiki sejumlah tangga. Mirip makam Sunan Muria. Kalau tidak salah ingat, aku sempat mendengar dari pedagang bahwa jumlah tangga yang harus didaki sebanyak 350 buah. Wow, fantastis. Aku sampai ngos-ngosan. Kakiku langsung pegal-pegal. Belum lagi seorang temanku cewek, Putri, menggodaku dengan menarik-narik tasku. Tambah berat aja nich beban. Dasar Putri. Makin caper aja nich anak.

Sampai di atas, aku langsung melonjorkan kaki. Perjalanan masih berlanjut. Komplek makam Sunan Bayat ini, menurutku, terbilang unik. Terdapat candi-candi di sana dan juga tumpukan batu bata merah yang mengingatkanku pada bangunan menara Kudus. Pintu untuk memasuki makam pun terbilang sangat pendek sehingga mengharuskanku untuk membungkuk saat masuk di makam tersebut. Memang pintunya sengaja dibuat pendek agar kita menunduk saat masuk ke makam Sunan Bayat. Ini sebagai rasa tawadhu’ dan ta’dzim kita kepada ulama’.

Acara tahlil dan doa bersama dipimpin oleh temanku sendiri, Helmi. Dia menjelaskan sedikit tentang asal usul serta sejarah tentang Sunan Bayat. Setelah itu tahlil berlangsung dengan cukup singkat karena pada saat yang sama juga mau ada acara besar. Satu rombongan bus dari Semarang telah mengadakan suatu acara di tempat tersebut.

Aku kembali menuruni tangga sampai bawah. Tak lupa jepret sana sini. Lumayan buat upload di facebook. Istirahat sebentar di sebuah bangunan mirip-mirip masjid, namun bukan masjid.

Cukup. Saatnya melanjutkan perjalanan. Agenda selanjutnya adalah air terjun. Aku itu dari kemarin sudah menghafal namanya, namun kali ini aku lupa. Jadi harus buka catatan dulu atau entah nanti tanya ke temanku dech. Sorry, maklum udah mulai pikun.

Kata temanku, perjalanan menuju air terjun hanya 1 km. Huh, bo’ong. Ternyata lumayan jauh kok, bahkan aku sempat kesasar karena ketinggalan teman. Beruntung masih ada satu temanku lagi yang bertanya-tanya ke penduduk. Akhirnya dapat sampai tujuan dengan selamat. Hm m . . .jadi keinget sama pepatah, malu bertanya sesat di jalan.

Motor-motor pun berjajar rapi di parkiran. Biayanya sama dengan makam Sunan Bayat sekitar Rp. 2000,- hawanya sejuk dan kelihatan masih asri serta alami. Sangking alaminya, jalannya seperti belum di aspal. Menanjak dan penuh bebatuan. Teman-temanku bilang, tempat ini memang belum banyak terjamah manusia. Mantab.

Aku menyusuri jalan setapak menuju air terjun. Asyik juga nich perjalanan kali ini. Back to nature-nya dapet banget. Sampai di pos 1, aku langsung melepas tas yang sedari tadi melekat di punggungku. Rasanya plong dan ringat banget. Aku langsung menyopot sandal. Mengamati pemandangan kanan kiri. Benar-benar masih alami. Teman-temanku langsung menunjukkan aksi dengan membuka baju masing-masing. Saatnya mereka terjun bebas dari tebing. Aku hanya duduk dan diam mengamati. Aku belum bisa berenang, jadinya belum berani melakukan hal-hal yang teman-teman lakukan. Aku hanya bermain air di pinggiran sungai. Ah, kayak anak kecil aja nich diriku.

Tak lama kemudian, nasi telah siap untuk disantap. Nikmatnya makan ramai-ramai di hutan sekaligus dekat air terjun. Jozz.

O iya, belum shalat dzuhur. Aku segera mengambil air wudhu. Mencari tempat yang tepat dan pas untuk shalat. Eh, kebetulan nemu tempat yang bagus banget. Aku shalat dzuhur berjama’ah. Sempat berdiskusi tentang arah kiblat. Untung aja aku jadi makmum. Ah, ngikut imam aja lhah dari pada ikut-ikutan pusing mikirin arah kiblat.

Selesai shalat. Saatnya menyusuri air terjun. Benar-benar mantab. Aku dan teman-teman menuju tempat yang lebih tinggi. Menyusuri air dan penuh bebatuan. Beberapa kali aku harus terjatuh di air. Aku harus menjaga keseimbangan tubuh. Tanganku sampai berdarah akibat menopang tubuhku yang mau jatuh.

Teman-teman telah mendahuluiku di pos 2. Untuk mencapai pos tersebut, aku harus menyusuri air sungai yang dalam. Aku harus memakai ban untuk sampai di tempat dengan didorong teman-temanku.

Nah, di lokasi ini, air terjunnya semakin menarik. Di beberapa titik terdapat air terjun meski terbilang tidak terlalu deras. Cukup lama bermain air di lokasi ini. Teman-teman ku lihat sangat menikmatinya, begitu juga denganku.

Entah berapa jam di lokasi ini. Kemudian teman-teman terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok kembali ke pos 1 dan menuruni sungai. Satu kelompok lainnya melanjutnya perjalanan menuju atas. Aku masuk ke dalam kelompok kedua. Medan yang aku temui semakin sulit, namun terbayar dengan pemandangan yang makin cantik dan indah. Aku harus lebih berhati-hati. Salah melangkah sedikit saja, dapat berakibat fatal. Aku harus menaiki bebatuan yang menjulang tinggi seakan seperti olahraga panjat tebing. Tanpa tali, tanpa pengaman, tinggal naik aja layaknya spiderman.

Di pos 3, aku tidak melanjutkan perjalanan lagi karena hari sudah mulai sore. Saatnya pulang. Eits, makan dulu di warung. Aku dan teman-teman turun melalui jalan setapak. Kakiku semakin pegel aja nich, namun mau tak mau aku harus sampai lagi di pos 1.

Saat beranjak dari tempat parkir, tetesan air hujan mulai turun. Aku tidak memakai jas hujan. Putri mengingatkanku untuk menjaga kondisi tubuh. “Ngga’ pakai jas hujan? Entar sakit lho,” ujarnya. Aku menjawabnya dengan santai bahwa aku akan baik-baik saja.

Aku pulang dan menerobos hujan. Motor melaju dengan kecepatan tinggi. waktu yang seharusnya 1,5 jam, bisa ditempuh hanya dengan 45 menit. Gila!!!

Sampai di pondok, aku langsung menunaikan shalat asar mumpung masih keburu. Habis itu, langsung terbaring di kasur sambil melonjorkan kaki yang makin pegel-pegel. Lega. . . . unforgettable journey. Terimakasih teman-teman. Semoga ini bukan perjalanan yang terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline