Lihat ke Halaman Asli

Nazwatul Jannah As Syakur

STT Terpadu Nurul Fikri

Menguak Jejak Kelam DI/TII di Desa Parentas Tasikmalaya Bersama Ekspedisi Mapala Halmahera STT Terpadu Nurul Fikri

Diperbarui: 31 Oktober 2024   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kami, anggota Mapala Halmahera, divisi gunung hutan, berfoto bersama di Desa Parentas sebelum melakukan perintisan jalur.” (Dokpri)

Desa Parentas di Kabupaten Tasikmalaya menyimpan cerita kelam dari masa gerakan DI/TII yang dipimpin Imam Kartosuwiryo. Pada 1959-1961, desa ini menjadi salah satu target serangan, terutama peristiwa tragis "Cacar Bolang" pada 17 Agustus 1961, yang menewaskan 51 warga. Pembakaran rumah-rumah dan penjarahan membuat desa ini luluh lantak, dengan warga tak berdaya menjadi korban.

Kami, anggota Mapala Halmahera dari kampus STT Terpadu Nurul Fikri menyempatkan berkunjung untuk menyelami kisah ini. Kepala Desa Parentas, Bapak Lukas, menceritakan dengan penuh haru bagaimana peristiwa tersebut masih membekas di ingatan masyarakat. Warga mengenang peristiwa ini melalui tugu peringatan, tempat mereka mengadakan upacara setiap tanggal 17 Agustus.

"Potret pemandangan indah di Desa Parentas ini kami ambil sesaat setelah turun dari perintisan jalur, menyimpan sejarah kelam namun menyimpan potensi" (Dokpri)

Salah satu saksi kunci, Abah Asa, masih tinggal di Parentas, namun memilih diam karena trauma yang mendalam. Kisah tragis ini telah menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk terus memperjuangkan perdamaian dan kebersamaan.

“Tugu peringatan di Desa Parentas untuk mengenang para korban Peristiwa Cacar Bolang pada 17 Agustus 1961” (Dokpri)

“Desa Parentas, dengan segala kisah kelam di masa lalu, mengajarkan kita bahwa luka sejarah tidak hanya meninggalkan kenangan pahit, tetapi juga peluang untuk bangkit dan menemukan makna baru. Seperti alam yang terus tumbuh, masyarakat Parentas memilih untuk bertahan dan hidup selaras dengan warisan leluhur dan alam mereka. Di setiap gemericik air dan hijaunya perbukitan, tersimpan kisah tentang keteguhan hati dan kekuatan untuk terus melangkah, meski trauma begitu dalam. Warisan DI/TII bukan hanya tentang luka, tetapi juga tentang kebangkitan, di mana alam yang indah menjadi simbol penyembuhan dan perdamaian. Inilah pesan sejati dari Parentas: bahwa kehidupan terus bergerak, dan di setiap babak baru, ada harapan yang menunggu untuk dirangkul.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline