Lihat ke Halaman Asli

Nazwa Cendra Swari

Mahasiswi Public Relations UNJ

Short-form Video Content: Antara Keseruan dan Konsekuensi

Diperbarui: 20 April 2024   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Ilustrasi/Freepik.com

Short-form Video Content is top tier

Popularitas short-form video content (konten berdurasi pendek) pada era digital yang serba cepat ini telah mengalami peningkatan yang signifikan. Platform media sosial yang mendukung konten berdurasi pendek di antaranya TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts. Mengutip dari Yaguara.co, 60% konten berdurasi pendek ditonton 41% hingga 80% dari total durasinya. Hal ini menandakan bahwa konten berdurasi pendek ideal bagi para pengguna yang memiliki waktu terbatas untuk mencari dan memahami informasi atau hiburan. Namun, di lain sisi informasi yang didapat terkadang tidak clear akibat keterbatasan durasi serta menimbulkan masalah kesehatan. Topik ini relevan dan menarik untuk dibahas agar para pengguna bijak mengelola konsumsi konten berdurasi pendek.

Siapakah platform yang terpopuler?

Melansir dari Socialinsider.io, Reels Instagram mendapatkan rata-rata tingkat tontonan tertinggi di dunia, yaitu sebesar 13,08% dalam kurun waktu 2021-2023. Disusul TikTok sebesar 9,06% dan YouTube Shorts sebesar 2,52%. Walaupun demikian, menurut saya TikTok sering menjadi sumber tren-tren viral di mana sesuatu yang viral cenderung menarik perhatian Gen Z. Didukung oleh data bahwa demografi usia pengguna TikTok pada tahun 2023 didominasi (38,5%) oleh pengguna yang berusia 18 tahun ke atas (Datareportal.com). Terlepas dari platform mana yang lebih disukai oleh setiap pengguna, konten berdurasi pendek memang memiliki keunggulan-keunggulan yang sulit untuk diabaikan dan disebut-sebut sebagai the future of online content.

Sumber: Ilustrasi/Freepik.com

Menawarkan segudang kemudahan

Apabila dilihat dari segi aksesibilitas, konten berdurasi pendek mudah diakses di semua demografi dan geografi. Selain itu, karena formatnya yang portrait dapat meningkatkan kenyamanan menonton. Editing-friendly, membuat konten berkualitas tanpa perlu menguasai keterampilan editing secara mendalam. Baik di TikTok, maupun di Reels dilengkapi dengan fitur pengeditan dasar. Mengutip dari Strikesocial.com, hanya TikTok yang memiliki aplikasi pengeditan video sendiri (CapCut) untuk memberdayakan para kreator dan YouTube Shorts yang tidak dilengkapi fitur pengeditan. Hal tersebut yang menurut saya, TikTok selangkah lebih maju untuk memfasilitasi kreativitas dan langsung terintegrasi ke akun pengguna dibandingkan platform lainnya. Namun, dibalik keunggulan yang ditawarkan, konten berdurasi pendek banyak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.

Binge-Scrolling untuk Si TikTok Addicted

Binge-Scrolling” merupakan salah satu dampak dari konten berdurasi pendek dan sangat mencerminkan perilaku para pengguna TikTok dan Reels. Mengutip dari Technology.org, binge-scrolling mengacu pada menelusuri feed media sosial tanpa berpikir panjang untuk jangka waktu yang lama. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran algoritma. Di mana algoritma akan menentukan konten video pendek yang muncul di beranda berdasarkan preferensi minat dan interaksi (like, comment, share) pengguna. Meskipun dapat meningkatkan user experience, algoritma juga berkontribusi pada penurunan rentang perhatian sehingga otak kita kesulitan untuk fokus pada satu topik. Kecenderungan jari tangan bertindak lebih cepat menggulir ke video selanjutnya inilah yang menurut saya menghambat pemaknaan informasi ke dalam ingatan.

Sumber: Ilustrasi/Freepik.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline