Pernahkah kalian mendengar istilah Xenoglosofilia? Jika tidak, mari kita mulai menjelajahi fenomena ini. Xenoglosofilia adalah fenomena ketika seseorang menggunakan bahasa asing secara berlebihan. Secara harfiah xenoglosofilia terbentuk dari kata 'xeno' yang berarti asing, 'gloso' yang berarti bahasa, dan 'filia' yang berarti suka. Menurut Ivan Lanin, dalam bukunya yang berjudul "Xenoglosofilia Kenapa Harus Nginggris?" seorang xenoglosofilia sering menggabungkan istilah-istilah asing. Fenomena ini marak terjadi di kalangan anak muda. Bisa dilihat dari tempat yang sering mereka kunjungi salah satunya adalah kafe. Banyak nama kafe yang menggunakan bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Seperti, Pillow Park Cafe, Sparkle Coffee, About String, Seroja Bake, Two Cents Coffee, 150 Coffee garden, Nightcap Bar, The Pleasant Service, dan masih banyak lagi.
Sangat disayangkan jika pemuda tidak mencerminkan sikap berbahasa yang baik serta kepedulian dan kecintaannya terhadap bahasa. Hal tersebut akan berakibat buruk bagi bahasa Indonesia. Bahasa indonesia akan terkikis dan terlupakan. Padahal, bahasa adalah cermin identitas sebuah bangsa. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan warisan budaya yang mencerminkan jati diri bangsa. Setiap kata, kalimat, dan struktur bahasanya memiliki keunikan tersendiri yang patut dilestarikan. Jika generasi muda tidak peduli, dikhawatirkan bahasa Indonesia akan semakin pudar. Kosakata asli akan tergantikan, struktur kalimat akan berubah, dan akhirnya identitas bahasa pun akan hilang. Hal ini bukan sekadar kehilangan bahasa, tetapi juga kehilangan sebagian dari identitas budaya kita.
Selain dampak negatif yang telah dibahas, fenomena xenoglosofilia juga memiliki beberapa sisi positif jika dikelola dengan baik. Salah satu dampaknya adalah meningkatkan kemampuan berbahasa asing. Penggunaan bahasa asing yang lebih sering, baik dalam percakapan sehari-hari maupun media sosial, membantu generasi muda memperkaya kosakata dan memahami tata bahasa asing. Hal ini menjadi keunggulan yang penting dalam dunia kerja, pendidikan, dan komunikasi lintas budaya di era globalisasi. Selain itu, xenoglosofilia juga memperluas wawasan budaya. Bahasa asing sering kali membawa nilai-nilai budaya, sehingga anak muda dapat lebih memahami kebiasaan dan pola pikir masyarakat lain. Fenomena ini juga bisa mendorong terciptanya sikap terbuka dan toleran.
Tidak hanya itu, fenomena ini juga memacu kreativitas dan inovasi, terutama dalam branding atau media sosial. Nama kafe yang menggabungkan istilah asing dan lokal, seperti Seroja Bake, misalnya, memberikan sentuhan modern tanpa meninggalkan nuansa lokal. Pengaruh positif lainnya adalah kemudahan adaptasi di kancah internasional. Dengan terbiasa menggunakan bahasa asing, generasi muda lebih siap menghadapi tuntutan global, seperti studi atau pekerjaan di luar negeri. Meskipun demikian, dampak positif ini harus diseimbangkan dengan upaya menjaga bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Dengan pendekatan yang tepat, generasi muda dapat memanfaatkan keuntungan xenoglosofilia tanpa mengabaikan tanggung jawab melestarikan warisan budaya bangsa.
Sebelum mengetahui bagaimana cara mengatasi fenomena ini, mari kita mengetahui faktor apa saja pendorong Xenoglosofilia. Pertama, pengaruh globalisasi. Generasi muda hidup di era globalisasi yang mendorong interaksi lintas budaya secara masif. Hal ini memicu penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai simbol gaya hidup urban dan modern. Dalam dunia kuliner, jaringan kopi internasional seperti Starbucks menjadi simbol gaya hidup modern. Akibatnya, kafe lokal sering meniru estetika ini dengan nama-nama seperti Pillow Park Cafe atau Two Cents Coffee, yang dianggap lebih menarik bagi kaum muda dibanding nama dalam bahasa Indonesia seperti "Warung Kopi Dua Sen".
Kedua, media sosial dan budaya populer. Media sosial berperan penting dalam memperkenalkan dan memperkuat penggunaan bahasa asing. Banyak konten digital, lagu, dan film menggunakan bahasa Inggris sebagai media utama. Sebagai contoh, banyak pengguna Instagram yang menggunakan caption atau tagar berbahasa Inggris seperti "Aesthetic vibes."Anak muda yang terpapar konten tersebut sering kali menganggap penggunaan bahasa asing lebih gaul dan relevan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya degradasi kemampuan berbahasa Indonesia. Banyak anak muda yang lebih fasih berbicara dalam bahasa Inggris atau menggunakan campuran bahasa dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide kompleks dalam bahasa ibu mereka sendiri. Selain itu, media sosial juga membentuk budaya singkat dan dangkal dalam berkomunikasi. Penggunaan singkatan, meme, dan bahasa gaul semakin menjauhkan generasi muda dari kemurnian bahasa Indonesia. Komunikasi yang efektif dan mendalam perlahan tergantikan dengan komunikasi instan yang lebih mementingkan kecepatan daripada kedalaman makna.
Ketiga, kurangnya pemahaman bahasa Indonesia. Masalah ini berakar dari kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang kekayaan bahasa Indonesia. Banyak anak muda yang merasa bahwa bahasa Indonesia memiliki keterbatasan kosakata atau tidak cukup fleksibel untuk mengekspresikan ide tertentu. sebagai ilustrasi, kata unggah atau sambungkan sering diganti dengan upload dan connect karena dianggap lebih keren atau relevan. Padahal, upaya seperti penggunaan istilah gawai untuk gadget berhasil menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sebenarnya cukup fleksibel jika dimanfaatkan secara kreatif.
Keempat, prestise dan status sosial. Menggunakan bahasa asing sering dianggap menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Hal ini menciptakan persepsi bahwa kemampuan berbahasa asing memberikan daya tarik tambahan. Penggunaan bahasa asing sering dianggap sebagai tanda status sosial yang lebih tinggi. Sebagai contoh, dalam dunia kuliner, banyak restoran atau kafe menggunakan nama berbahasa Inggris, seperti Pillow Park Cafe, Sparkle Coffee, About String, Seroja Bake, Two Cents Coffee, dan 150 Coffee garden, meskipun mereka beroperasi sepenuhnya di Indonesia. Pemilik bisnis percaya bahwa nama berbahasa Inggris memberikan kesan profesional dan berkelas kepada customer. Fenomena serupa terjadi di kalangan anak muda, terutama di media sosial. Seseorang yang menulis status atau caption Instagram seperti "Chilling at my favorite caf" lebih sering mendapat perhatian daripada yang menulis "Santai di kafe favoritku." Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa asing tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga cara untuk menunjukkan citra diri yang dianggap lebih modern dan menarik. Selain itu, penggunaan bahasa asing juga sering terlihat dalam acara pernikahan atau pesta, misalnya undangan dengan judul "The Wedding of" dibandingkan "Pernikahan."Ini menciptakan persepsi bahwa bahasa Inggris memberikan nilai tambah berupa prestise, padahal esensi pesan yang disampaikan sama.
Anak-anak muda banyak mengunjungi kafe karena kafe-kafe tersebut menggunakan bahasa asing, yang membuat mereka terkesan sebagai orang yang "gaul" dan "kekinian." Faktor utamanya adalah globalisasi, yang meningkatkan interaksi lintas budaya sehingga bahasa Inggris dipandang sebagai simbol modernitas; media sosial dan budaya populer, yang mempopulerkan bahasa asing melalui konten digital; kurangnya pemahaman tentang bahasa Indonesia, akibat minimnya pengetahuan akan fleksibilitas dan kekayaannya; serta prestige dan status sosial, karena bahasa asing sering diasosiasikan dengan gengsi dan daya tarik. Oleh karena itu, anak-anak muda semakin tertarik menggunakan bahasa asing demi menampilkan citra modern dan trendi.
Untuk mengatasi xenoglosofilia, beberapa langkah dapat diambil dengan pendekatan strategis dan kreatif. Salah satu solusi utamanya adalah memperbanyak poster berbahasa Indonesia yang menarik dan relevan di kafe-kafe di Indonesia. Poster-poster ini dirancang menggunakan elemen visual yang kekinian, seperti tipografi modern, warna menarik, dan slogan kreatif. Misalnya, slogan "Satu Teguk, Satu Tawa" dan quotes "Jangan cuma foto, nikmati juga momen di sini."
Kedua poster ini dapat memberikan kesan bahwa bahasa Indonesia tidak kalah menarik dibandingkan bahasa asing. Slogan-slogan ini tidak hanya mempercantik dekorasi kafe, tetapi juga mampu memunculkan rasa bangga dan keakraban dalam berbahasa Indonesia di kalangan pengunjung. Lebih dari sekadar poster, solusi ini juga bisa dikembangkan menjadi bagian dari identitas kafe itu sendiri. Dengan mengaplikasikan bahasa Indonesia dalam branding, menu, hingga elemen dekorasi lainnya, kafe-kafe dapat memberikan pengalaman unik sekaligus menjadi pelopor dalam gerakan apresiasi bahasa Indonesia.