Lihat ke Halaman Asli

Nazwa Aprilia

Mahasiswa

Tersebarnya video kekerasan yang dilakukan oknum pendidik, berikut relevansi teorinya

Diperbarui: 11 Desember 2024   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tersebarnya video kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru di SMKN 12 Malang memicu banyak perhatian dari warganet mengenai praktik kekerasan di dunia pendidikan dan bagaimana institusi pendidikan seharusnya merespons insiden seperti ini. Dalam kasus ini, meskipun piha sekolah, guru, dan keluarga siswa telah mencapai kesepakatan damai, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran institusi pendidikan dalam memastikan lingkungan belajar yang aman serta teori-teori yang relevan dalam memahami kekerasan di dunia pendidikan.

1. Teori Kekerasan Struktural

Menurut Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia, kekerasan struktural terjadi ketika institusi atau sistem dalam masyarakat menyebabkan kerugian secara tidak langsung pada individu. Teori ini menjelaskan kekerasan yang terjadi secara tidak langsung dan memengaruhi banyak orang, tetapi tidak terlihat secara jelas. Kekerasan struktural merupakan kekerasan yang memengaruhi hidup orang banyak tetapi tidak terlihat secara langsung dan memberikan dampak secara nyata terhadap kehidupan banyak orang.

Dalam konteks ini, kekerasan yang dilakukan oleh guru dapat dipahami sebagai dampak dari ketidakmampuan sistem pendidikan untuk menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif antara guru dan siswa. Selain itu, kebiasaan menoleransi perilaku otoriter di lingkungan sekolah dapat memperkuat kekerasan semacam ini. Di banyak institusi pendidikan, hubungan hierarkis antara guru dan siswa sering kali menjadi sumber ketegangan yang jika tidak diatasi dengan baik, dapat menyebabkan kekerasan fisik atau emosional.

Dalam kasus di SMKN 12 Malang, meskipun guru AK telah menyatakan bahwa tindakannya merupakan bentuk kekhilafan, insiden tersebut mencerminkan adanya masalah struktural dalam sistem pendidikan yang memungkinkan kekerasan terjadi. Kebijakan sekolah yang mungkin belum maksimal dalam menangani ketidakhadiran siswa dan kebohongan bisa jadi menjadi pemicu frustasi yang dirasakan oleh guru, yang kemudian terungkap dalam bentuk kekerasan fisik.

2. Teori Pembelajaran Sosial

Teori Pembelajaran Sosial dari Albert Bandura mengajarkan bahwa manusia belajar dari lingkungan sosial mereka melalui observasi dan peniruan. Ketika kekerasan menjadi bagian dari lingkungan sosial---baik di sekolah maupun di luar sekolah---ada kemungkinan besar bahwa siswa dan bahkan guru akan menganggap kekerasan sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan masalah. Dalam konteks ini, tindakan kekerasan oleh guru dapat menjadi contoh buruk bagi siswa, yang mungkin melihat perilaku tersebut sebagai bentuk otoritas atau disiplin yang dapat dibenarkan.

Bandura juga menekankan bahwa penguatan sosial memainkan peran penting. Dalam banyak kasus, tindakan kekerasan tidak mendapatkan konsekuensi serius atau hukuman, sehingga pelaku kekerasan mungkin merasa tindakan mereka dibenarkan. Dalam kasus ini, meskipun guru mengundurkan diri dan proses mediasi telah dilakukan, tidak ada tindakan hukum yang diambil oleh keluarga siswa. Hal ini bisa jadi menunjukkan kepada siswa dan guru lain bahwa kekerasan fisik dapat diatasi secara damai tanpa konsekuensi serius, yang berpotensi memperpetuasi budaya kekerasan.

3. Teori Otoritarianisme dan Otoritas Guru

Teori Max Weber tentang otoritas karismatik dan tradisional bisa juga diaplikasikan untuk memahami hubungan antara guru dan siswa. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, guru sering kali dianggap sebagai figur otoritas yang tidak bisa dipertanyakan. Hal ini menciptakan hubungan hierarkis yang tidak seimbang antara guru dan siswa, yang terkadang memunculkan kekerasan dalam proses disiplin. Guru yang merasa berhak menegur dengan cara apa pun, baik verbal maupun fisik, sering kali tidak menyadari batasan etis dari otoritas mereka.

Dalam kasus ini, tindakan AK terhadap siswa dapat dilihat sebagai upaya untuk menegakkan disiplin dengan cara yang salah. Meskipun niatnya mungkin adalah untuk mengajarkan kedisiplinan karena siswa terlambat dan berbohong, metode kekerasan fisik yang dipilih tidak hanya melanggar hak siswa, tetapi juga mencoreng citra pendidikan sebagai institusi yang seharusnya memberikan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline