Lihat ke Halaman Asli

nazwa amaliaa

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Mengungkap Ketimpangan Hukum bagi Warga Miskin

Diperbarui: 9 Januari 2025   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2014 silam, Indonesia dikejutkan dengan sebuah kasus hukum yang melibatkan seorang nenek berusia 63 tahun bernama Asyani, yang berasal dari Situbondo, Jawa Timur. Nenek Asyani dituduh mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani yang berdiameter sekitar 100 cm. Kasus ini menjadi sorotan karena tuduhan tersebut dan hukuman yang diterima oleh nenek tersebut dirasa tidak adil oleh sebagian kalangan. Nenek Asyani tinggal di Desa Jatibedeng, Situbondo, dan didakwa melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 Ayat 1d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jaksa mengajukan bukti berupa 38 papan kayu jati yang disebutkan identik dengan kayu milik Perhutani yang berada di petak 43F, Desa Jatibanteng. Namun, Nenek Asyani bersikeras bahwa kayu tersebut diambil dari pohon jati yang tumbuh di halaman rumahnya di desa tersebut.

Kasus ini semakin mengundang perhatian publik karena meskipun vonis yang dijatuhkan lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda sebesar Rp 500 juta subsider satu hari penjara, Nenek Asyani tetap merasa tidak terima. Dalam persidangan, ia bahkan berteriak marah, menyatakan bahwa dia tidak mencuri dan mengklaim adanya praktik suap dalam penanganan kasusnya. "Saya sudah bersumpah mati, tidak ada gunanya. Pasti ada suap. Saya tidak mencuri, sumpah pocong, Pak," ucapnya dengan penuh amarah, seperti yang dilaporkan oleh Liputan 6 Petang SCTV.

Tidak hanya Nenek Asyani yang terlibat dalam kasus ini. Tiga orang lainnya juga dilaporkan, yaitu menantunya, Ruslan, pemilik mobil pick-up, Abdussalam, dan Sucipto, seorang tukang kayu. Beberapa pihak mengkritik tindakan jaksa yang dinilai terlalu formal dan kaku dalam menangani kasus ini. Mereka berpendapat bahwa kayu yang dimaksud sebenarnya bukanlah milik Perhutani, karena kayu tersebut berasal dari tanah yang pernah dimiliki oleh Nenek Asyani dan telah dijual pada tahun 2010. Selain itu, ada bukti berupa sertifikat tanah dan keterangan dari kepala desa yang mengonfirmasi bahwa tanah tersebut dulunya memang milik Nenek Asyani.

Di luar itu, ada sejumlah hal yang mencurigakan terkait proses hukum yang dijalani Nenek Asyani. Sebelum kasus ini naik ke pengadilan, upaya penyelesaian secara non-litigasi antara pihak Perhutani dan Nenek Asyani ternyata tidak membuahkan hasil. Ada pula klaim yang menyebutkan bahwa sebelum kasus ini dilaporkan ke polisi, pihak Perhutani sempat meminta uang sebesar Rp 4.000.000 dari Nenek Asyani sebagai ganti rugi atas kayu tersebut. Selain itu, jumlah barang bukti kayu yang disajikan di pengadilan juga tidak konsisten. Dalam perjalanan persidangan, jumlah kayu yang dijadikan bukti terus bertambah. Bahkan saksi ahli yang dihadirkan dari Perhutani sempat meragukan apakah kayu yang ada di pengadilan benar-benar milik Perhutani, karena tidak ada kepastian tentang jenis kayu tersebut.

Dalam hal kronologi pemindahan kayu, proses tersebut hanya terlihat dari rumah Nenek Asyani ke rumah Sucipto, seorang pengrajin kayu. Namun, tidak ada penjelasan jelas mengenai bagaimana kayu tersebut bisa sampai dari hutan milik Perhutani menuju rumah Nenek Asyani, yang semakin menambah keraguan terhadap kasus ini.

Kasus Nenek Asyani bukanlah satu-satunya yang mencerminkan ketidakadilan hukum di Indonesia. Banyak kasus serupa lainnya yang melibatkan warga miskin yang menjadi korban dari hukum yang cenderung berpihak kepada pihak-pihak yang lebih kuat, seperti perusahaan besar atau pihak yang memiliki kepentingan lebih besar. Dalam banyak kasus, hukum Indonesia tampaknya hanya tajam bagi orang-orang lemah dan miskin, sementara untuk kelompok-kelompok besar, hukum cenderung tumpul. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia, yang sering kali lebih mementingkan aspek teknis dan prosedural daripada kondisi sosial dan kemanusiaan pelaku.

Dalam analisisnya, Kepala Bidang Penanganan LBH Jakarta, Muhammad Isnur, mengkritik sikap jaksa yang terlalu kaku dan tidak memperhitungkan konteks sosial yang ada. Menurutnya, hukum harus dijalankan dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan individu yang sudah lanjut usia seperti Nenek Asyani. Hukum Indonesia, menurut Isnur, cenderung tidak adil terhadap masyarakat miskin, sementara pihak-pihak besar sering kali mendapatkan perlindungan dari sistem hukum yang ada.

Proses hukum terhadap Nenek Asyani menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem peradilan Indonesia. Meskipun hukum harus ditegakkan secara objektif dan sesuai dengan aturan yang berlaku, seharusnya ada pertimbangan terhadap aspek kemanusiaan dan keadilan sosial dalam penanganan kasus-kasus seperti ini. Dalam hal ini, sistem hukum seharusnya mempertimbangkan kondisi sosial dan personal pelaku, termasuk faktor usia dan kondisi fisik yang rentan pada Nenek Asyani. Sebagai lansia, dia seharusnya mendapatkan pembinaan atau hukuman yang lebih bijaksana, bukan hukuman yang keras dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya.

Melihat dari sudut pandang pemerintah, penerapan hukum yang berlandaskan pada positivisme harus diimbangi dengan kebijakan yang melindungi kelompok-kelompok rentan, seperti lansia, dari potensi eksploitasi hukum yang tidak adil. Pemerintah seharusnya mendukung implementasi hukum yang bijaksana dan mengutamakan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kebijakan sosial yang diusung pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang tidak mampu melawan ketidakadilan dalam sistem hukum. Pemerintah seharusnya mendorong penerapan hukum dengan lebih bijaksana, khususnya dalam kasus yang melibatkan individu lanjut usia.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kondisi sosial pelaku. Melalui kebijakan perlindungan sosial dan kesejahteraan, pemerintah sering kali menekankan upaya untuk melindungi kelompok rentan, termasuk lansia, dari potensi eksploitasi hukum yang tidak adil. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan yang seharusnya melindungi hak-hak setiap individu tanpa memandang usia atau status sosial mereka.Secara keseluruhan, kasus Nenek Asyani memperlihatkan betapa pentingnya reformasi dalam sistem hukum Indonesia untuk menciptakan peradilan yang lebih adil dan transparan. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam penegakan hukum, serta perlunya perubahan yang mengutamakan keadilan sosial, terutama untuk masyarakat miskin dan kelompok rentan.

Opini menurut saya dari kasus nenek Asyani

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline