Sepekan lalu, akhirnya aku pergi ke psikiater untuk mendapatkan diagnosa terbaru dari permasalahan yang terjadi padaku setahun lalu. Hasilnya tetap sama, bahkan sepertinya bertambah parah, yaitu mixed anxiety and deppresive disorder.
Aku harus mulai mendapatkan pengobatan minimal selama 6 bulan, dan melakukan konsultasi setiap 10 hari sekali. Membayangkannya saja sudah melelahkan bukan?
Tapi entah kenapa ada rasa syukur atas hal ini. Mungkin seperti perasaan lega karena telah bercerita pada psikiater dan bukan lagi self diagnosis. Ya, itu lebih baik.
Penyebab kondisi mentalku memburuk ada 2 hal dalam kasusku, yaitu trauma dan kehilangan di masa lalu.
Trauma ini ternyata menurutku sesuatu yang lumayan sepele jika dibayangkan. Dulu saat kecil tepatnya sejak duduk di sekolah dasar, aku selalu dibanding-bandingkan dengan ke dua kakaku yang pintar, sedangkan aku tidak sepintar mereka yang selalu mendapat juara 1 di kelas. Keduanya bahkan aktif mengikuti lomba di sekolah, ataupun menjadi perwakilan sekolah.
Sebenarnya bukan aku saja, banyak dari setiap anak yang semasa kecilnya sering dibanding-bandingkan dengan kakak, bahkan tetangga, benar kan?
Mungkin bagiku di masa lalu, itu adalah luka yang hingga kini tumbuh membesar. Sebelum akhirnya aku pun mendapat juara 1, aku sempat mendapat nilai 0 saat kelas 1 SD. Seingatku, aku hanya mengisi beberapa jawaban salah dan 90% sisanya aku mengosongkan jawabanku. Bahkan, aku sempat tidak mau sekolah sampai menangis sesampainya di sekolah. Aku mengingatnya cukup jelas, karena hal itu cukup memalukan bagiku.
Tapi entah karena hal apa, aku mulai berubah dan belajar dengan tekun. Aku mulai mengejar ketinggalan, secara perlahan aku masuk rangking 5 besar di kelas, lalu 3 besar, dan akhirnya dapat juara 1. Aku juga mengikuti beberapa perlombaan di kelas. Meski tidak mendapat juara, tapi cukup memuaskan untukku.
Perasaan ingin membuktikan nilaiku bisa lebih besar dari kakaku masih bertahan hingga kuliah. Aku bertekad mendapat IPK melebihi nilai-nilai mereka. Ya, akhirnya hal itu terwujud. Tanpa disadari, aku berjuang atas hal itu.
Bahkan, aku bergabung dengan OSIS, aktif di BEM kampus pun karena aku melihat ke dua kakaku. Mereka bukan hanya pandai dalam nilai akademik, tetapi non akademik. Keduanya kerap menjadi leader dalam suatu kelompok, padahal mereka seorang perempuan.
Aku tentu tak mau kalah. Masih kuikuti jejak kakak-kakaku. Aktif di organisasi, menumpukan berbagai sertifikat, hingga bisa menjadi leader. Sebetulnya, semua hal itu adalah nilai positif bukan? Tapi tanpa disadari ada luka yang tadinya kecil malah membesar.