Lihat ke Halaman Asli

Tanggapan Terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021

Diperbarui: 15 November 2021   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama Kelompok : Nazilah Maghfiroh 1311900234, Raditya Nugraha 1311900024

Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 

Nadiem ini menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kebijakan dibuat ditujukan sebagai pedoman untuk pihak kampus dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan sekesual yang sedang marak. sejumlah pihak menilai, aturan ini bertujuan untuk melindungi civitas atau masyarakat akademik dalam perguruan tinggi dari tindak pelecehan seksual ini justru dianggap memberi celah legalisasi seks bebas di lingkungan kampus. Saat ini terjadi adanya kekosongan hukum dalam melaksanakan pencegahan, penanganan, hingga perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Oleh karena itu, dengan adanya peraturan Nomor 30 tahun 2021 ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi mengambil langkah yang tegas dalam menindak kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. tujuan utama dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini adalah supaya ada mekanisme untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus atau perguruan tinggi. Desakan untuk mencabut peraturan itu pun muncul dari Anggota Komisi X DPR RI. mendesak agar aturan tersebut dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis. Salah satu dari cacat materil, terletak di Pasal 5 ayat (2) yang memuat consent dalam bentuk frasa ”tanpa persetujuan korban”. Ada Pasal 5 dari Permendikbud 30/2021 pasal tersebut , kekerasan seksual didefinisikan mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Dalam Pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas ini berbasis persetujuan. Terkait kritik tersebut consent atau persetujuan dapat menjadi indikator menentukan suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu kekerasan seksual atau tidak. Consent dapat menjadi salah satu batasan apakah kekerasan seksual terjadi atau tidak. Jika tanpa adanya persetujuan artinya tindakan tersebut merupakan kekerasan karena korban tidak menghendaki. Persetujuan juga dianggap tidak sah apabila usia karena korban belum dewasa, mendapat ancaman karena pelaku menyalahgunakan kedudukan, korban berada di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkoba, serta ketika korban mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur. frasa "tanpa persetujuan korban" terdapat makna sebagai "pelegalan kebebasan seks". peraturan ini "mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan". Frasa itu juga ditolak oleh MUI. Kata tersebut memiliki makna bahwa transaksi atau aktivitas seksual di luar nikah selama dilakukan suka sama suka (sexual consent) menjadi tidak diatur, dan dunia pendidikan tidak menghukuminya. frasa "kekerasan seksual" diganti menggunakan "kejahatan seksual" karena dianggap "lebih komprehensif dibanding kekerasan seksual". Hakikat dari suatu kejahatan seksual ialah transaksi atau aktifitas seksual baik 'dengan persetujuan' ataupun 'tanpa persetujuan'. Menghilangkan frasa tersebut bisa membuat posisi korban semakin rentan karena tidak ada lagi penegas yang membatasi bahwa dia adalah korban kekerasan seksual. Begitu pula dengan mengubah dari frasa "kekerasan seksual" menjadi "kejahatan seksual". Tetapi Kejahatan seksual ini hanya terfokuskan pada pelaku, kekerasan seksual fokus pada pencegahan dan pendampingan korban, juga supaya menimbulkan efek jera pada pelaku. Banyak dari korban sulit mendapatkan keadilan karena ketidaksetujuannya akan tindakan kekerasan seksual sering kali dikesampingkan dalam proses hukum. konsep consent yang tercantum pada Permendikbud tidak serta merta bisa diartikan sebagai upaya melegalkan perzinaan. Jadi, Tidak semua yang tidak diatur Permendikbud itu menjadi boleh. Dari Judulnya saja pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, bukan mengatur Tindakan kesusilaan. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 justru hadir untuk mengisi kekosongan hukum atas maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tidak bisa dijangkau oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasalnya, mahasiswa yang rata-rata berusia mulai dari 18 tahun sudah bukan lagi tergolong sebagai anak untuk bisa dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak. Mayoritas yang belum menikah untuk bisa mengacu pada UU PKDRT. Dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini sudah menjadi jawaban atas kekosongan untuk menciptakan ruang yang lebih aman bagi seluruh pihak di kampus atau perguruan tinggi. Di Pasal 3 ini mengabaikan norma agama. Padahal kita sebagai manusia hidup di negara Pancasila dan Sila Pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Maka perlu dimasukkan ke dalam norma agama. Apabila di dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Kampus atau Perguruan Tinggi seharusnya dijelaskan secara rinci dan detail seperti halnya sama sama mau namun diikutin oleh paksaan maka dari itu terdapat pada Pasal 285 KUHP "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun." Seharusnya peraturan ini di jelaskan secara rinci dan detail apa saja yang mencakup tentang pelecehan ini awalnya melihat dari sisi kontra menjadi pro karna saat ini masyarakat banyak berpendapat bahwa pasal tersebut lebih melegalkan zina padahal Peraturan ini untuk memberikan perlindungan kepada Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Menurut Pendapat dari kelompok kami, peraturan tersebut bukanlah melegalkan seks atau perbuatan zina melainkan peraturan tersebut untuk mencegah terjadinya pelecehan. dan kelompok kami setuju dengan adanya permendikbud ristek jika pada pasal 5  ini dapat menyebabkan kegagalan dalam upaya untuk menegakkan hukum yang pasti.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline