Kepulan asap hitam membumbung tinggi, bau daging hangus dan darah tercampur dengan bau mesiu tercium sangat menyengat, suara yang memekakan telinga tak henti-henti terdengar bercampur dengan teriakan menggebu serta erangan yang menyakitkan saling bersautan.
Ini adalah perang.
Perang atas nama harga diri.
Perang demi kemerdekaan yang sudah di depan mata.
Ini adalah perang, seperti perang lainnya : selalu ada jiwa yang terlepas dari raganya di manapun ia berpihak.
Selalu ada tangis di dua sisi yang belawanan.
Tetapi apa yang lebih berarti dari kemerdekaan dan apa yang lebih menggiurkan dari kekuasaan ?
Apa yang lebih kokoh dari harga diri dan apa yang lebih kuat dari harta?
Semua itu jadi alasan untuk mengorbankan jiwa demi astinapura, kan?
Dalam hati seorang pemuda 25 tahunan berbicara sambil menyeka tangannya yang berlumuran darah dengan baju yang sudah tak diketahui lagi warnanya. Ia berdiri dari duduk setelah menangani seorang pejuang yang terluka di dada. Ia berusaha menolong orang yang sendikit lebih tua darinya, tapi itu percuma saja karena jantungnya pasti rusak terkena peluru tentara musuh.
Ia berjalan menjauh walau sang pejuang masih bernapas, "Dokter!!? kenapa kau tinggalkan temanku? Tolong dia Dokter!!" Temannya berteriak, berlari mengejar sang pemuda kurus.