Kicauan burung yang mengalun lembut serta sang fajar yang sudah menampakkan dirinya dari ufuk timur sembari memancarkan sinar yang cerah menyambutku dengan hangat untuk memulai kegiatan menyenangkan pagi itu bersama dua temanku. Cuaca di awal Bulan Oktober saat itu sangat cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan seakan alam mendukung perjalanan kami ke Surakarta. Untuk menelusuri kekayaan sejarah dan budaya kali ini kami menggunakan transportasi umum Kereta Rel Listrik (KRL) dan mejangkaunya melalui Stasiun Lempuyangan. Setibanya di dalam gerbong rangkaian kereta, suasana cukup ramai dan terlihat wajah-wajah penuh harapan dalam setiap langkah mereka untuk memulai kegiatannya pagi itu.
Hembusan angin sejuk dari pendingin udara membuatku sedikit mengantuk hingga aku terlelap sejenak. Sekitar kurang lebih satu jam perjalanan kami tiba di Stasiun Purwosari dan langsung menuju Lokananta Bloc menggunakan taksi online dengan semangat yang membara. Saat tiba di Museum Lokananta tepat pukul 10.00, kami membeli tiket seharga Rp25.000 dan segera bergabung dengan rombongan tur tanpa menunggu. Tur museum kami dipandu oleh Mas Taufik, lelaki muda berpakaian formal serba hitam yang ramah dan sedikit gugup namun selalu berusaha melakukan yang terbaik dalam melayani kami. Tur museum ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagiku, karena minat dan bakat yang Aku miliki erat dengan dunia musik.
Museum Lokananta adalah museum yang menyimpan banyak sejarah musik tanah air karena termasuk label rekaman pertama yang beroperasi di Surakarta. Museum Lokananta yang berada di area Lokananta Bloc ini memiliki bangunan yang cukup besar dengan layout yang menarik disertai ruang terbuka di tengah bangunan yang dihiasi rerumputan hijau dan kolam kecil dipinggirnya serta beberapa bangku dan meja kayu yang bisa digunakan pengunjung untuk bersantai. Tur dimulai di ruangan bernuansa putih bersih dan pencahayaan yang begitu terang bernama "Linimasa" yang berisi sejarah lokananta. Mas Taufik menjelaskan perjalanan Lokananta dari tahun ke tahun yang mulanya merupakan sebuah pabrik piringan hitam hingga menjadi museum modern yang dapat diakses publik. Dengan wajah sumringah dan penuh semangat, ia membawa kami menyelami sejarah yang penuh makna. Masih di ruangan yang sama dengan sisi yang berbeda, terdapat beberapa alat musik dan mesin produksi kaset yang digunakan Lokananta beberapa waktu lampau.
Kami melanjutkan tur ke ruangan bernama "Gamelan" yang berisi beberapa alat musik yang umumnya dimainkan dan ada pula alat musik yang jarang terlihat seperti rebab. Mas Taufik menjelaskan mengenai alat musik tersebut dengan jelas, serta mengajarkan sedikit tentang aksara Jawa dan cerita mitos di balik gamelan. Suasana semakin hangat saat kami masuk ke ruang bernama "Diskografi" yang menyerupai perpustakaan dengan koleksi rekaman suara dari zaman dahulu sekitar 1920-an. "Ruangan ini tidak terbuka untuk umum dan hanya diakses di waktu tertentu saja" Sahut Mas Taufik di sela penjelasannya mengenai diskografi. Kami sangat beruntung bisa berkesempatan untuk mengunjungi ruangan yang tidak terlalu besar itu.
Setelah beberapa waktu di ruangan tersebut, kami beralih ke ruangan selanjutnya yang bernama "Bengawan Solo". "Wow" Kata pertama yang muncul dibenakku saat memasuki ruangan itu karena Aku merasa melihat sesuatu dari berbagai zaman yang disatupadukan dalam satu tempat. Ruangan berbentuk persegi yang berisi beberapa alat untuk memproduksi musik itu nampak menakjubkan. Alih-alih mendengarkan penjelasan Mas Taufik, perhatianku justru tertuju pada hal lain yang berada di ruangan itu. Ya, di segala sisi temboknya terdapat sejarah proses produksi rekaman musik di Lokananta sekitar tahun 1960-an hingga 1990-an yang diproyeksikan secara visual seakan menyajikan kemajuan teknologi era ini.
Perasaan takjub saat kami berpindah dari ruangan ke ruangan lain tak kunjung usai justru semakin membuncah. Beranjak dari ruangan "Bengawan Solo", kami melanjutkan ke ruangan yang terlihat seperti galeri berisi karya seni fotografi yang bermakna. Hanya sekejap, kami langsung berpindah ke galeri vinyl, di mana kami melihat begitu banyak koleksi kaset jarrahjarah yang tersusun rapi di tiap raknya yang besar dan menjulang tinggi hingga memenuhi segala sisi tembok di ruangan itu. Bagian tengah ruangan tersebut terdapat kursi berwarna putih yang saling membelakangi membentuk sebuah lingkaran dengan beberapa headphone sebagai properti untuk berfoto. Mas Taufik menjelaskan dengan sangat antusias tentang vinyl yang berisi lagu-lagu legendaris itu hingga hal kecil seperti penggunaan ejaan lama yang ada pada sampulnya, seperti "Indonesia Raja" yang berarti "Indonesia Raya".
Tidak terlalu lama, kami beralih ke ruangan berikutnya yang bernama "Proklamasi". Seperti tulisan yang tertera di tembok putih bagian luar ruangan tersebut, di dalamnya terdapat sejarah mengenai proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Ruangannya tergolong kecil dan sangat gelap karena tidak ada penerangan, serta kain putih yang mejuntai di tengah ruangan sebagai media visualisasi penayangan rekaman proklamasi kemerdekaan yang justru menambah kesan mistis dan kelam. Pada ruangan ini, Mas Taufik tidak memaparkan penjelasan yang begitu banyak dalam ruangan ini dan kami hanya menyaksikan apa yang ditampilkan pada kain putih tersebut. Tur museum hampir berakhir, setelah rekaman selesai diputar kami beranjak dari ruangan itu dan pindah ke ruangan sebelah yang suasananya sangat berbanding terbalik menurutku.
Kami disambut oleh beberapa warna yang cukup mencolok dan mencuri perhatian yang memberikan kesan ceria saat masuk ke ruangan tersebut. "Ruangan ini seperti galeri pameran yang sifatnya temporer dan bisa berubah tema sewaktu-waktu" Ujar Mas Taufik sembari berjalan di ruangan itu. "Saat ini tema yang sedang digunakan adalah genre musik pop" Lanjutnya. Kami memerhatikan tiap-tiap seni yang ditumpahkan dalam ruangan itu. Menurutku ukuran ruangan tersebut lebih besar daripada yang lain. Terdapat beberapa headphone yang disediakan untuk pengalaman interaktif dan kita bisa menikmati lagu yang diciptakan oleh seniman-seniman terkenal zaman dahulu sekitar tahun 1900-an. Aku yang sejak kecil sudah mengenal bidang musik terutama dunia tarik suara, merasa menyatu dengan atmosfer yang ada di sini dan sangat menikmatinya.
Tidak terasa kami sudah berada di penghujung rangkaian tur Museum Lokananta, selanjutnya Mas Taufik mengarahkan kami ke ruangan terakhir yang bernama "Pustaka". Sesuai Namanya ruangan ini adalah perpustakaan yang berisi beberapa buku bacaan yang tersusun rapi di tiap sudut ruangan serta tersedia banyak meja dan bangku untuk memfasilitasi pengunjung yang ingin membaca di ruangan itu. Nuansanya sedikit redup dan tenang, alih-alih ingin membaca Aku justru membayangkan betapa nyaman dan tenangnya jika tidur siang di sini. Sembari melihat sekeliling ruangan itu, Mas Taufik mengakhiri tur dengan ucapan terima kasih dan memberi kami waktu satu jam untuk eksplor museum. Tanpa pikir panjang kami bergegas ke beberapa ruangan yang sangat instagramable untuk berfoto. Tepat pukul 12 siang kami memutuskan untuk mampir ke toko merchandise dan vinyl yang ada di sebelah museum kemudian lanjut untuk makan siang di restoran bakmi "Sedjuk".
Perjalanan sejarah kami kali ini Lokananta Bloc merupakan pengalaman yang sangat mengesankan. kami dapat menikmati waktu kami dengan Berbagai pilihan tempat yang nyaman, sejuk, dan menarik, meskipun cuaca di luar cukup panas. Mulai dari museum yang penuh inspirasi hingga toko vinyl dan restoran yang nyaman. Lokananta Bloc benar-benar memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Rasanya tidak sabar untuk kembali ke Surakarta dan menjelajahi budaya dan tempat bersejarah lebih banyak lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H