Lihat ke Halaman Asli

Nayla Livyani

Communication student

Peran Algoritma Tiktok dalam Penyebaran Hoaks dan Disinformasi

Diperbarui: 8 Desember 2024   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era globalisasi dan digitalisasi ini, perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK) tentu sudah semakin maju dan tersebar secara luas di berbagai sudut kehidupan. Teknologi dirancang dan dengan sengaja dikembangkan menjadi sesuatu hal yang lebih canggih daripada sebelumnya. Hal ini bertujuan agar kehadirannya dapat menghasilkan suatu manfaat, dan tidak menjadi suatu hal yang tidak dipedulikan oleh masyarakat. Salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang kini semakin maju adalah sosial media, yakni merupakan suatu media online yang dirancang untuk dijadikan tempat mengekspresikan diri melalui cara pembuatan blog ataupun konten bagi para penggunanya, serta sebagai alat untuk mempermudah komunikasi dalam rangka memperluas jaringan sosial secara global. Media sosial sendiri bukanlah suatu hal yang masih asing di telinga masyarakat, hampir seluruh individu di permukaan bumi ini pasti mengetahui apa itu media sosial dan bahkan telah menggunakan salah satu contoh perkembangan teknologi ini di dalam keseharian mereka. Media sosial sendiri memiliki banyak manfaat, di antaranya sebagai wahana untuk mencari berbagai informasi. Dengan adanya media sosial juga membuat hadirnya perubahan dalam bagaimana cara seseorang menerima dan mengonsumsi suatu informasi.

Salah satu contoh media sosial yang di masa ini ramai digunakan oleh semua kalangan usia adalah TikTok. Tiktok merupakan sebuah platform media sosial berbasis video, yang di mana para penggunanya kerap menuangkan ide kreatifnya ke dalam sebuah konten video yang kemudian diunggah untuk dapat dinikmati oleh para pengguna lainnya. Dengan majunya teknologi yang semakin pesat ini tentu membuat warga dunia dapat mencari informasi dengan jangkauan yang luas dan mendunia hanya dengan melalui TikTok. Platform ini menerapkan fitur algoritma di dalam sistemnya yang dimana memengaruhi preferensi dan personalisasi konten digital yang dikonsumsi oleh berbagai kelompok pengguna (Arjuna et al. 2024). Selain itu, algoritma dalam TikTok juga berbasis pada suatu hal yang tengah ramai diperbincangkan di masyarakat, yang di mana konten tersebut akan secara otomatis muncul pada linimasa akun pengguna. Algoritma ini juga membuat suatu informasi dapat tersebar secara luas dan global dengan jangka waktu yang cepat.

Namun, kehadiran algoritma yang bermanfaat ini juga memiliki sisi negatif. Akibat penyebaran informasi yang bersifat bebas ini, di mana informasi apapun dapat tersebar begitu saja apabila sedang ramai dibicarakan, berita palsu atau hoax juga dapat tersebar secara cepat dan mudah. Tidak adanya pengendalian dalam penyebaran informasi ini berdampak buruk bagi para pengguna yang mudah terkecoh, terutama bagi pengguna yang menerima informasi baru tanpa mencari tahu kebenaran di balik informasi tersebut. Dengan terjadinya penyebaran hoax ini, bahkan terkadang cukup masif, tentu menjadi perhatian yang mendalam karena dapat menimbulkan dampak yang merugikan, baik terhadap individu maupun keseluruhan masyarakat. Hal ini dikarenakan hoax dibuat dengan tujuan untuk mengelabui atau menipu penerima demi tujuan tertentu, seperti untuk mempengaruhi opini publik. Tersebarnya hoax dan disinformasi ini memberikan informasi sesat yang dapat menimbulkan kepanikan serta menurunnya kepercayaan terhadap media. Munculnya informasi hoaks sebagai persoalan masyarakat digital terkini mengindikasikan rendahnya literasi digital di Indonesia (Nisa 2024).

Lalu, apakah algoritma memiliki peran dalam penyebaran hoax dan disinformasi di TikTok? Sebuah institusi penelitian bernama MIT Media Lab menyajikan hasil studinya bahwa tersebarnya informasi palsu cenderung terjadi lebih cepat dibandingkan dengan informasi yang benar akibat adanya ketertarikan secara emosional dari sisi konten terhadap berita hoax. Sedangkan menurut Dr. Sandra Wacher, seorang profesor hukum dan etika di University of Oxford, "Algoritma tidak memiliki kesadaran moral, mereka hanya berfungsi berdasarkan data yang mereka terima dan memberikan hasil sesuai dengan pola perilaku pengguna." Selain itu, pada tahun 2022 lalu, News Guard (suatu sistem yang menganalisis keakuratan informasi yang beredar) berhasil menganalisis dan mendapatkan data bahwa 20 hasil teratas dari 27 hasil pencarian di TikTok terhadap sebuah topik, terdapat 19,5% video yang berisi berita menyesatkan. Demikian pula pada tahun 2023 lalu, portal berita online Tirto.id yang bekerja sama dengan layanan penyedia survey Jakpat mengadakan riset mandiri mengenai paparan hoax. Survey ini juga mengungkapkan bahwa mayoritas responden menemukan informasi hoax sebanyak 1-3 kali dalam tiga bulan terakhir, di mana TikTok menjadi sarana penyebaran hoax terbanyak kedua setelah Facebook. Hoax yang paling sering beredar dan ditemui oleh responden adalah penipuan uang kaget atau hadiah, kemudian disusul dengan hoax topik politik.

Berdasarkan analisis, cara hoax-hoax yang terdapat di TikTok menjadi ramai diperbincangkan biasanya bermula dari seorang atau beberapa orang pengguna yang dengan sengaja membuat konten berisikan informasi palsu dan pengelabuan seputar topik yang sedang hangat diperbincangkan untuk kemudian disebarkan di media sosial TikTok. Hal ini seringkali dilakukan dengan berbagai tujuan, dengan kerap kali yang menjadi faktor utama atas tindakan ini adalah karena adanya persaingan yang dimiliki antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya, bertujuan untuk menjatuhkan individu atau kelompok pesaingnya tersebut. Salah satu contoh penyebaran hoax dan disinformasi di TikTok yang cukup berpengaruh terhadap masyarakat umum adalah hoax yang berseliweran di masa pemilu partai politik dan di masa pemilihan kepala daerah dan kepala negara. Pada kala itu, banyak sekali konten yang beredar secara luas mengenai setiap paslon yang secara resmi akan bersaing. Namun, konten berisikan informasi tersebut tidak selalu memuat informasi yang benar berdasarkan data dan fakta, melainkan terdapat banyak informasi-informasi palsu yang sengaja disebar demi membuat nama paslon lain terlihat buruk di mata masyarakat lainnya. Kehadiran teknologi algoritma membuat berita-berita hoax ini semakin mudah mencapai target audience-nya sehingga memotivasi para pembuat dan penyebar berita hoax ini untuk terus membanjiri masyarakat dengan informasi-informasi sesat. Walhasil, berita-berita hoax semakin membludak dan membuat masyarakat semakin sulit untuk membedakan mana berita yang berdasarkan fakta dan mana berita yang palsu.

Dengan berbagai hoax yang beredar ini, tentu masyarakat diharapkan harus bisa lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi suatu berita. Hal ini dikarenakan apabila tidak berhati-hati maka bisa membuat diri sendiri rugi akibat mempercayai suatu berita palsu. Selain itu, hal tersebut dapat berdampak buruk bagi masyarakat lainnya apabila seseorang yang mempercayai berita palsu tersebut kemudian ikut menyebarkan lebih luas berita palsu tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berita hoax ini dapat menimbulkan kerugian dalam skala yang cukup luas dan dapat menodai karakter dan pribadi dari seseorang, bahkan dapat mencoreng kredibilitas suatu institusi. Masyarakat yang mempercayai berita hoax kemudian dapat membuat suatu pilihan yang keliru yang merugikan kedua belah pihak.

Berdasarkan analisis, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem algoritma dari media sosial TikTok membuat para penggunanya dapat terus menerus secara otomatis memperoleh konten menyesatkan dari para pembuat konten hoax, yang kemudian dapat memberikan dampak merugikan. Sejauh ini, belum terlihat adanya upaya dari pihak TikTok untuk dapat meredam penyebaran berita hoax demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang lebih berkualitas. Di sisi lain, sebuah perusahaan teknologi raksasa yang cukup berpengaruh dalam penyebaran informasi justru sudah mengambil satu langkah di depan dengan mengadakan survey kepada penggunanya secara terbatas mengenai penyebaran informasi, dengan memberikan pertanyaan dalam surveynya tersebut apakah penyebaran hoax terus terjadi atau dapat dikendalikan oleh teknologi dari perusahaan raksasa ini. Celakanya, media sosial TikTok tampaknya lebih populer dan lebih digemari oleh mayoritas pengguna internet di negara ini karena sistem penyajiannya berupa video-video pendek yang lebih mudah untuk dinikmati.  

REFERENSI

Akbar, A. (2023, October 12). Survei: Hoaks paling Banyak Ditemui Di Facebook Dan TikTok. tirto.id. https://tirto.id/riset-masyarakat-paling-banyak-temukan-hoaks-di-facebook-gP6k

Arjuna, Bima, Bimo Saputra Mulyadi, Muhammad Hilmi Asardan, Nathania Adristina, Nitya Sekarwangi, Raditya Abyan Ziyad Ardana, Rifki Hanafi, and Saskia Khaerani. 2024. “Pengaruh Algoritma Rekomendasi Terhadap Personalisasi Konten Digital Di TikTok Pada Mahasiswa Sistem Informasi UNNES.” Jurnal Potensial 3 (1): 117–27. http://jurnalilmiah.org/journal/index.php/potensial


Kompas Cyber Media. (2022, September 16). TikTok Disebut sebagai Sarang Misinformasi oleh Pengawas media. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/09/16/193300582/tiktok-disebut-sebagai-sarang-misinformasi-oleh-pengawas-media

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline