Lihat ke Halaman Asli

Nayla Berly Salsabila

Universitas Gadjah Mada

Menjelajah Sanur dan Legian

Diperbarui: 9 Desember 2024   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Malam itu, pada tanggal 6 November 2024, Bali membawa sebuah cerita yang sungguh tak terlupakan. Saya dan keempat teman perempuan lainnya memutuskan untuk memanfaatkan waktu luang kami selama kuliah lapangan dengan menjelajahi sisi malam dari pulau dewata. Harapan kami cukup sederhana, yaitu merasakan suasana pantai Bali yang terkenal ramai di malam hari, menikmati desiran ombak, dan tentunya membuat memori bersama. Kami memulai perjalanan pada pukul 22.00 menggunakan Gocar. Tujuan pertama kami adalah Pantai Sanur, karena letaknya cukup dekat dari hotel yang kami tinggali. Ekspektasi membumbung tinggi. Dalam bayangan kami, pantai itu akan dipenuhi pengunjung maupun pedagang. Namun, ternyata setelah sesampainya di sana, kenyataan berkata lain. Pantai Sanur malam itu begitu gelap dan sunyi. Memang ada beberapa orang yang duduk di kejauhan, tetapi suasananya jauh dari hiruk-pikuk yang sudah kami bayangkan. Seolah kami tiba di dunia yang berbeda dari imajinasi awal.

Meskipun cukup kecewa. Kami mencoba menikmati momen tersebut. Berjalan di sepanjang garis pantai yang tenang sembari memotret panorama pantai Sanur di malam hari. Ada pesona tersendiri dari kesunyian Sanur yang membiarkan kami mendengar lebih jelas suara alam seperti desiran ombak dan angin yang lembut menyapa. Namun, tetap saja keinginan untuk menemukan tempat yang lebih hidup mendorong kami untuk mencari destinasi lain. Setelah berdiskusi cukup panjang, pilihan kami jatuh pada Pantai Legian, yang terkenal dengan cafe-cafe dan kehidupan malamnya. Perjalanan ke Legian memakan waktu cukup lama sekitar 30 menit dari Pantai Sanur. Sepanjang perjalanan, kami bertukar cerita dan tertawa kecil, tetap berusaha menjaga suasana hati dan semangat meskipun pengalaman di Sanur tak sesuai harapan. 30 menit berlalu, kami sampai juga ditujuan yaitu Pantai Legian, yahh, lagi-lagi, kami dihadapkan pada suasana yang sama. Pantai Legian malam itu juga tidak seramai yang sudah kami bayangkan. Cafe pun banyak yang tutup. Keriuhan yang kami harapkan seperti menguap begitu saja. Kami cukup kecewa, karena memakan waktu yang cukup banyak untuk mencapai di kedua pantai tersebut, namun dihadapkan dengan kenyataan bahwa pantai yang kami datangi tidak seramai yang kami ekspektasikan, entah ekspektasi kami yang terlalu tinggi atau memang kami yang kurang research terhadap destinasi yang kami kunjungi.

Akhirnya untuk mengatasi rasa kecewa kami, kami memilih untuk berhenti dan mampir di sebuah minimarket yaitu Circle-K. Di sana, kami membeli camilan dan minuman, lalu duduk di depan toko, menikmati camilan dan minuman kami, serta mencoba mencari hiburan dari obrolan santai. Tak lama, seorang pria menghampiri kami. Ia memperkenalkan diri sebagai pemandu wisata perorangan yang bekerja dengan cara unik yaitu menggunakan motor sebagai transportasi untuk tamu-tamunya. Dari perbincangan kami, pria itu bercerita bahwa ia berasal dari Sumatera dan merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pemandu wisata. Ia berkata bahwa hanya melayani turis asing, dengan alasan mereka lebih disiplin terhadap waktu dan royal dalam memberikan tip. “Kalau turis lokal,” katanya sambil tertawa, “pelit dan suka telat.” Mendengar itu, kami tertawa kecil, meski di sisi lain juga merasa tergelitik. Cerita-ceritanya membuka mata kami tentang bagaimana pekerja pariwisata di Bali harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tipe wisatawan.

Setelah perbincangan singkat tersebut. Kami memutuskan kembali ke hotel dengan memesan Gocar. Kali ini, driver kami ternyata juga seorang pemandu wisata dan sama-sama berasal dari Sumatera. Sepanjang perjalanan, ia berbagi pandangan yang berbeda. Ia melayani semua jenis wisatawan, baik asing maupun lokal. Menurutnya, tak adil mengeneralisasi tipikal wisatawan hanya berdasarkan asal mereka. Ia percaya bahwa keberhasilan seorang pemandu tergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan karakter tamu, karna setiap orang berbeda, dan tugas kita adalah membaca situasi dan menawarkan pengalaman yang relevan bagi mereka. Driver itu juga bercerita bahwa banyak pengemudi ojol (ojek online) di Bali memiliki pekerjaan ganda sebagai pemandu wisata pula. Mereka memanfaatkan interaksi dengan penumpang untuk menawarkan jasa tambahan. Tak hanya mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat lain, mereka memanfaatkan setiap kesempatan untuk berbincang dengan wisatawan, menawarkan informasi lokal, dan terkadang, memperkenalkan mereka pada tempat-tempat wisata yang jarang dikunjungi. Pendekatan ini, katanya bukan hanya soal mencari tambahan penghasilan, tetapi juga soal membangun hubungan yang lebih personal dengan wisatawan. “Kalau kita bisa melayani mereka dengan baik,” ujarnya, “tidak peduli lokal atau asing, mereka akan puas dan kembali lagi.” penjelasannya membuat saya merasa lebih kaya pemahaman tentang dunia pariwisata di Bali, yang tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari sisi kemanusiaan.

Petualangan malam kami di Bali berakhir dengan kesan yang jauh dari ekspektasi awal. Namun, justru dalam perbedaan itulah kami menemukan makna. Malam itu mengajarkan kami bahwa keindahan perjalanan tak selalu terletak pada apa yang kita rencanakan, tetapi pada kejutan-kejutan kecil di sepanjang jalan. Dari keheningan Pantai Sanur, suasana lengang Legian, hingga pertemuan dengan dua pemandu wisata yang memiliki pendekatan berbeda, semuanya memperkaya pengalaman kami. Bali, dengan segala pesonanya, tetaplah Bali. Di balik gemerlap yang sering diceritakan, ada sisi lain yang tenang, penuh cerita, dan menawarkan pelajaran yang berharga. Dan bagi kami, malam itu menjadi bukti bahwa setiap perjalanan memiliki caranya sendiri untuk menginspirasi, bahkan ketika tidak sesuai dengan bayangan. Kami menutup malam itu dengan kembali ke hotel, dengan membawa pulang lebih dari sekedar foto-foto atau cemilan. Kami membawa pulang cerita tentang orang-orang yang kami temui, tentang bagaimana mereka hidup, dan tentang bagaimana perjalanan tidak melulu soal destinasi, tetapi juga tentang apa yang terjadi di antaranya. Bali malam itu mengajarkan kami bahwa terkadang, momen-momen terbaik adalah yang tak direncanakan. Momen-momen itulah yang membuat perjalanan terasa lebih hidup dan penuh makna. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline