Ketimpangan sosial yang dialami oleh guru honorer di Indonesia mencerminkan bagaimana berjalannya nilai keadilan dan kemanusiaan berdasarkan kandungan nilai sila kedua Pancasila.
Sebagai pilar pendidikan bangsa, guru honorer mengemban tanggung jawab yang sangat besar. Mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa dengan penuh dedikasi, bahkan sering kali diberikan tugas yang melampaui tanggung jawab mereka. Ironinya, mereka sering kali dihadapkan pada perlakuan tidak adil, baik dalam segi upah, perlindungan kerja, maupun pengakuan sebagai profesional.
Di tengah banyaknya berita yang beredar di media sosial, kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh melakukan penganiayaan, menjadi sorotan utama. Kasus ini mendesak kita untuk merenungkan ketimpangan sosial terkait dengan pengamalan sila kedua Pancasila. Supriyani, yang telah mengabdikan 16 tahun hidupnya di SDN 4 Baito, dituduh memukul seorang siswa kelas 1 berinisial MC, yang merupakan anak personel Kepolisian di Polsek Baito.
Meski diberitakan seperti itu, Supriyani yang sempat ditahan, tetap bersikukuh tidak pernah melakukan pemukulan terhadap MC, didukung oleh sejumlah saksi yang membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu. Pihak LBH Himpunan Advokat Muda (HAMI) sebagai kuasa hukum Supriyani, menemukan banyak kejanggaalan dalam kasus ini.
Salah satu titik perhatian dalam kasus ini adalah pengakuan awal MC pada ibunya yang menyatakan luka di pahanya ia dapat karena jatuh di sawah. Namun setelah mendapat tekanan dari Ayahnya, anak tersebut mengubah pengakuan dan menyatakan ia telah dianiaya oleh Supriyani.
Tuduhan itu terjadi pada pukul 10. 00 Wita, padahal menurut LBH, di waktu tersebut tidak mungkin terjadi, karena pada hari itu Supriyani sedang berada di kelas lain dan seluruh siswa telah dipulangkan.
Supriyani mengungkapkan bahwa ia diminta untuk mengakui tuduhan penganiayaan selama proses penyidikan. Ia menegaskan bahwa ia tidak pernah melakukan penganiayaan terhadap korban, dan permintaan maaf yang ia sampaikan disalahartikan oleh pihak pelapor sebagai pengakuan atas perbuatan tersebut.
Sebelum dilakukan penyidikan, Upaya mediasi telah dilakukan beberapa kali, namun pihak pelapor menolak berdamai sehingga proses hukum pun berlanjut.
Dalam kasus Supriyani juga tercium dugaan pemerasan, hal ini terkait dengan adanya permintaan dari pihak pelapor untuk membayar denda sebesar Rp. 50 juta jika ingin berdamai. Karena pihak sekolah menyanggupi untuk membayar Rp 10 juta, pihak pelapor menolak berdamai karena tuntutan denda yang dimintanya tidak dapat dipenuhi.
Kasus ini menunjukkan ketimpangan sosial yang dialami oleh guru honorer, yang sangat bertentangan dengan cita-cita keadilan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila.
Reaksi atau intervensi yang dilakukan Orangtua MC terhadap Suryani dinilai berlebihan dan tidak proporsional karena dapat membahayakan berjalannya proses Pendidikan.