Lihat ke Halaman Asli

Nayla Hamidah

Pelajar yang sedang khawatir dengan masa depan

"Covid-19 Myopia", Rabun Jauh pada Gen Z karena Penggunaan Gawai Berlebih Saat Pandemi

Diperbarui: 2 Juli 2021   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : stahlny.com

Satu tahun lebih lamanya Indonesia menjalani kehidupan di tengah hiruk pikuk pandemi COVID-19. Banyak sektor yang terimbas pandemi, mulai dari sektor kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Contoh pada bidang kesehatan, yaitu penuhnya rumah sakit karena pasien COVID-19 dan ribuan korban meninggal dari warga sipil hingga tenaga kesehatan. Contoh pada sektor ekonomi dan pendidikan adalah diberlakukannya Work from Home (WFH) dan Study from Home (SFH)

WFH dan SFH mayoritas dijalani oleh kelompok masyarakat Gen Z (Generasi Z). Menurut Wikipedia, Gen Z adalah generasi yang lahir pada pertengahan 1990 sampai awal 2010 atau 1997 - 2012. Saat ini kelompok Gen Z berada pada rentang usia 9 - 24 tahun dan berada pada masa sekolah, kuliah, atau awal bekerja.

Gen Z termasuk kelompok yang cepat beradaptasi dengan teknologi digital, khususnya saat pandemi. Aplikasi video call selalu menjadi media pengganti tatap muka di sekolah, universitas, dan instansi lainnya. Selain itu, siswa dan mahasiswa tak jarang mendapat tugas yang bersumber dari internet. Pengerjaan tugas pun banyak menggunakan gawai, seperti mengetik, mendesain, persiapan presentasi, dll. Selain urusan sekolah dan pekerjaan, gawai pun menemani waktu istirahat di rumah. Banyak sekali konten hiburan yang bisa diakses melalui gawai untuk melepas penat, seperti social media, film, drama, dan game. Selain itu, mayoritas siswa dan mahasiswa mempunyai  waktu luang yang lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi. Akibatnya, waktu untuk mengakses konten-konten hiburan tersebut tersedia lebih banyak pula. Tanpa disadari, kegiatan-kegiatan tersebut membuat Gen Z jauh lebih lama menatap layar gawai dibanding sebelum pandemi.

 Hal yang berlebihan sudah pasti tidak baik. Penggunaan gawai yang berlebih juga akan menimbulkan efek. Salah satu efeknya adalah "COVID-19 Myopia". "COVID-19 Myopia" adalah sebutan untuk kelainan mata rabun jauh yang muncul dan meningkat selama pandemi. dr. Afni Wahyuni, salah satu dokter umum asal Bukittinggi mengatakan myopia atau rabun jauh adalah kelainan tajam penglihatan mata. Ditandai dengan kabur saat melihat jauh yang seharusnya pada standar orang normal terlihat jelas. Ia juga menuturkan, dalam segi medis myopia terjadi saat sinar cahaya yang masuk ke mata tidak jatuh tepat di retina karena lensa mata yang lebih cembung daripada ukuran normal. Selain keturunan, kebiasaan melihat objek terlalu dekat dalam waktu lama juga menjadi pemicu utama myopia

Aktivitas Gen Z yang hampir selalu berhubungan dengan gawai berpotensi meningkatkan ukuran myopia. Jika terlalu abai, kenaikan ukuran myopia bisa melonjak tanpa disadari. Kebanyakan siswa menyadari matanya bermasalah saat melihat papan tulis di sekolah. Penglihatannya terasa kabur saat melihat papan tulis. Tapi, siswa tidak lagi pergi ke sekolah yang menyebabkan ketidaknyamanan karena myopia tidak terlalu terasa. Oleh karena itu, dr. Afni menyarankan agar pemeriksaan mata dilakukan setiap enam bulan sekali untuk penanganan yang lebih cepat, terlebih lagi pada orang yang sudah memiliki ukuran myopia tinggi.

Mengenai pengobatan myopia, dr. Afni menuturkan ada dua cara pengobatan, yaitu operasi lasik dan penggunaan kacamata. American Academy of Ophthalmology menyebutkan bahwa operasi lasik bertujuan untuk memperbaiki kelengkungan kornea sehingga cahaya dapat jatuh ke retina dengan tepat. Operasi lasik menggunakan teknologi laser. Sebelum menjalani operasi ini, pasien harus rutin berkonsultasi dengan dokter mata (Opthalmologist) untuk mengetahui syarat-syarat lasik. Salah satu syaratnya, yaitu berumur 17 tahun ke atas.

Berdasarkan data dari artikel lifepal, operasi lasik memiliki beberapa jenis. Harganya pun berbeda di tiap jenisnya. Jika dirangkum, biaya operasi lasik berada di kisaran 15 - 30 juta rupiah pada tahun 2021. Pada umumnya, biaya operasi lasik tidak ditanggung BPJS. Tapi, pasien bisa menggunakan BPJS dalam kondisi-kondisi khusus, seperti pelepasan retina (ablasio retina) atau mengikuti rujukan secara bertahap melalui pertimbangan dokter. Selain itu, dilansir dari hellosehat, risiko akibat operasi lasik cenderung kecil. Risiko kebutaan pada lasik setara dengan risiko kebutaan karena penggunaan kontak lensa. Hal terpenting adalah selalu mengikuti petunjuk dokter pasca-operasi untuk menimalisir komplikasi. Untuk info operasi lasik lebih lanjut, bisa diakses di website kesehatan.

Lantas, bagaimana caranya agar kenaikan ukuran myopia bisa ditekan saat pandemi? Berikut tipsnya.

1. Terapkan metode 20 20. Setelah 20 menit bekerja di depan gawai, lepaslah pandangan ke objek jarak jauh selama 20 menit. Jika hal tersebut dianggap memakan waktu terlalu lama, lakukanlah aktivitas lain tanpa gawai, seperti berolahraga, membersihkan rumah, dll. Intinya tidak melakukan aktivitas melihat jarak dekat selama 20 menit. Bagaimana saat sekolah atau kuliah online yang durasinya berjam-jam? Gunakan gawai dengan layar besar seperti laptop agar jarak mata dan layar tidak terlalu dekat. Jangan lupa untuk mengatur pencahayaan. Lalu, lakukan senam mata jika mata terasa lelah.

2. Refreshing tanpa gawai. Seringkali anak sekolah dan kuliah scroll media sosial sembari rebahan setelah jam pembelajaran online selesai. Bagi beberapa orang mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan dan otomatis dilakukan. Hal ini justru memperberat kerja mata setelah menatap layar berjam-jam yang berpotensi meningkatkan myopia. Untuk mensiasatinya, buatlah jadwal setelah sekolah atau kuliah online. Misalnya, "Setiap seusai sekolah saya akan memasak lalu berlatih gitar" atau "Setiap seusai kuliah saya akan jogging di treadmill". Sehingga, kebiasaan itu tidak lagi selalu otomatis dilakukan.

3. Hapus social media yang sekiranya tidak berhubungan dengan urusan sekolah, kuliah, dan pekerjaan. Social media memberi efek ketagihan pada pengguna. Terkadang pengguna tidak sadar sudah melihat layar berjam-jam saat bermain medsos. Oleh karena itu, hilangkan hal-hal tersebut sehingga jam penggunaan gawai bisa berkurang.

4. Pemeriksaan mata rutin setiap enam bulan. Seperti yang telah disebutkan dr. Afni sebelumnya, pemeriksaan mata setiap enam bulan penting untuk dilakukan agar kenaikan myopia bisa terkontrol. Jangan menunggu sampai mata terasa tidak nyaman atau lebih kabur. Kenaikan myopia sekitar 0,25 - 0,5 dioptri biasanya tidak terasa. Mata yang terasa lebih kabur dari biasanya menandakan kenaikan myopia yang signifikan. Oleh karena itu, jangan lupa cek tiap enam bulan.

5. Webinar online di sekolah dan kampus mengenai myopia saat pandemi. Program sosialisasi ini bisa dilaksanakan oleh puskesmas terdekat yang bekerjasama dengan sekolah atau kampus. Tujuannya yaitu menanamkan kesadaran secara meluas tentang efek penggunaan gawai berlebih dan memberikan kiat-kiat menjaga kesehatan mata di saat pandemi. Selain itu, Kementerian Kesehatan bisa menaruh iklan di banyak channel televisi dengan konteks bahaya myopia saat pandemi agar kesadaran tersebut tersebar lebih meluas.

6. Selalu pantau penggunaan gawai pada balita (jika di rumah ada balita). Beberapa orang sering memberikan gawai pada balita yang sedang rewel di rumahnya dengan alasan supaya berhenti menangis. Hal ini tidak baik dilakukan jika terlalu sering karena balita bisa menjadi ketergantungan gawai. Balita yang ketergantungan gawai tanpa pengawasan orang dewasa cenderung menderita myopia lebih cepat. Kasus ini pernah terjadi di China tahun 2019. China Times mengeluarkan berita tentang balita berumur 2,5 tahun yang menderita myopia minus 9 dioptri. Hal ini terjadi karena orang tua dari balita membiarkan anaknya menggunakan gawai terus menerus. Sungguh sangat disayangkan anak sebelia itu harus menderita penyakit mata yang sangat berat. Hal ini seharusnya bisa menjadi pelajaran agar balita tidak diberi gawai pada usia terlalu dini.

7. Niat. Memang sulit lepas dari gawai terlebih lagi banyak hal menyenangkan di dalamnya. Lakukanlah solusi pertama, kedua, dan ketiga secara bertahap setiap hari. Jika tetap konsisten melakukannya, hal itu bisa menjadi kebiasaan baru. Selain itu, cobalah mencari hobi atau keasikan baru di luar gawai sebagai pengalih perhatian.

Kesimpulan dari masalah di atas adalah terdapat masalah kesehatan baru di balik COVID-19 yang perlu diwaspadai, yaitu "COVID-19 Myopia". Kelainan mata ini memang tidak langsung terlihat efeknya. Perlahan tapi pasti, ukuran myopia akan terus naik jika kebiasaan pemicunya tidak dikurangi. Jika masyarakat terlalu abai, jumlah kasus myopia di Indonesia, khususnya pada kelompok masyarakat Gen Z bisa sangat melonjak. Untuk menghilangkan myopia pun diperlukan operasi lasik yang biayanya tidak murah. Oleh karena itu, sangat penting menerapkan solusi-solusi di atas untuk memperlambat laju kenaikan ukuran myopia. Sebisa mungkin, minimalisir penggunaan gawai di rumah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline