Organisasi mahasiswa (Ormawa) sejatinya adalah ruang egaliter untuk semua mahasiswa, tanpa memandang gender, ras, atau latar belakang. Namun pada realitas yang terjadi, di berbagai kampus masih sering sekali menampilkan wajah berbeda. Keterlibatan perempuan dalam organisasi lebih sering berada di balik layar daripada di panggung utama.
Situasi tersebut masih menyiratkan masalah stuktural yang tentunya tidak bisa diabaikan sehingga menyebabkan minimnya perempuan yang mampu atau berani menjadi katalisator dan pemimpin dalam Ormawa.
Patriarki kampus, meskipun sering kali tidak kasat mata, masih mengakar kuat. Perempuan memang dilibatkan dalam berbagai kegiatan Ormawa, tetapi apakah kehadiran mereka benar-benar dihargai secara strategis?
Perempuan sering kali ditempatkan pada posisi administratif atau sekadar pelengkap dalam struktur organisasi. Padahal, peran strategis seperti ketua, pengambil kebijakan atau bahkan penggerak utama sering kali dipegang oleh laki-laki.
Stereotip gender yang mengakar kuat menjadi salah satu alasan utama. Perempuan sering dianggap kurang memiliki kemampuan kepemimpinan atau keberanian untuk menghadapi tantangan organisasi, seakan wilayah rasional lagi-lagi hanya diletakan di kepala laki-laki.
Paradigma ini menciptakan lingkaran setan di mana perempuan merasa tidak percaya diri untuk maju, sementara laki-laki terus mendominasi ruang-ruang strategis.
Ormawa seharusnya menjadi medium pembebasan, bukan alat pelanggengan sistem patriarki. Perempuan memiliki hak yang sama untuk berkembang, memimpin dan menggerakkan perubahan. Namun, kenyataannya, perempuan sering kali tidak mendapatkan dukungan yang cukup untuk mencapai potensi mereka.
Sebagian mungkin berteriak lantang bahwa mereka telah merangkul, namun sebenarnya abai untuk membentuk dan menciptakan ruang yang benar-benar memberdayakan.
Karena mau bagaimana keberanian dan kompetensi perempuan dalam organisasi tidak lahir secara instan. Dibutuhkan ekosistem yang mendukung, termasuk mentor, pelatihan, dan ruang dialog yang setara. Sayangnya, upaya seperti ini masih minim di banyak kampus. Alhasil, perempuan yang memiliki potensi besar justru tenggelam dalam bayang-bayang sistem yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk bersinar.
Kita tidak bisa mengingkari fakta sejarah bahwa peradaban besar berakar dari peran perempuan. Dimulai dari rumah tangga hingga merambah ruang publik, perempuan telah menjadi aktor pembentukan generasi dan peradaban. Oleh sebab itu, membangun organisasi yang setara bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan. Karena Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga laboratorium perubahan sosial. Dan perubahan itu dimulai dengan memastikan perempuan mendapatkan tempat yang setara, strategis, dan penuh penghargaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H