Trust issue merupakan fenomena psikologis yang kerap dijadikan tameng oleh segelintir orang untuk membenarkan tindakannya. Gejala ini sering kali dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental, salah satunya Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Namun, lebih dari itu, trust issue juga bisa menjadi kebiasaan yang membatasi diri seseorang dari potensi perubahan dan hubungan yang bermakna.
Setiap orang tentu pernah merasa ragu atau tidak percaya terhadap orang lain. Namun, jika rasa tidak percaya ini dibiarkan tumbuh subur, tanpa disadari dapat berubah menjadi pola kebiasaan yang berbahaya. Misalnya, mengurung diri, menciptakan jarak dengan orang lain, terus-menerus memikirkan pandangan orang terhadap dirinya, hingga terjebak dalam rasa takut yang memunculkan krisis kepercayaan.
Padahal, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Aristoteles dengan tegas menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Kehidupan manusia selalu melibatkan orang lain, baik secara emosional, sosial, maupun fungsional. Tanpa interaksi dengan orang lain, kehidupan yang penuh makna menjadi mustahil untuk dicapai.
Dalam buku The Courage to Be Happy karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, dijelaskan bahwa :
Hidup selalu dimulai dari ketidaksempurnaan
Setiap orang memiliki kepribadian yang unik dan berbeda. Ada yang ceria dan ekspresif, ada pula yang serius dan pendiam. Namun, di balik perbedaan ini, setiap manusia pasti pernah mengalami kerapuhan dalam mempercayai orang lain. Ini adalah bagian dari proses menjadi manusia.
Namun, penting untuk diingat bahwa kita tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Hidup adalah tentang menjadi autentik dan berkembang sesuai nilai-nilai yang diyakini. Trust issue bukanlah alasan untuk stagnan atau menolak perubahan. Ia bukan pula penyakit yang tidak memiliki solusi. Trust issue, pada intinya, adalah tantangan yang harus dihadapi, bukan zona nyaman yang digunakan untuk membenarkan ketidakmauan berubah.
Manusia adalah makhluk yang membutuhkan waktu lebih lama untuk tumbuh secara mental dibandingkan dengan makhluk lain. Namun, di sisi lain, potensi mental manusia berkembang dengan kompleksitas dan kedalaman yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, perasaan sosial bukanlah idealisme yang berlebihan, melainkan prinsip mendasar yang ada dalam diri setiap manusia.
Sebagai makhluk sosial, kita memiliki tanggung jawab untuk membuka diri, mempercayai orang lain, dan menerima bahwa tidak ada hubungan yang sempurna. Dengan memahami ini, trust issue tidak lagi menjadi penghalang, melainkan pintu untuk menemukan kekuatan dalam ketidaksempurnaan manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H