Mahkamah kostitusi adalah adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan utama sebagai penjaga konstitusi. Konstitusi sendiri adalah aturan dasar yang dimiliki sebuah negara. Jadi, Mahakamah Konstitusi merupakan lembaga tertinggi yang bertugas menjaga berjalannya hukum-hukum di Indonesia ini. Selain itu, MK juga bertugas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilu, dan mengadili perkara terkait pelanggaran konstitusi. Tugas MK diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, serta dijelaskan lebih rinci dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi .
Sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di Indonesia, maka setiap keputusan yang diambil MK sangat berpengaruh terhadap konstitusi negara. Hasil keputusan MK juga sangat berpengaruh terhadap kondisi politik Indonesia dan kepercayaan publik terhadap tegaknya hukum yang berjalan. Beberapa bukti bahwa keputusan MK sangat berpengaruh pada situasi politik Indonesia adalah MK selalu menjaga stabilitas pasca pemilu, mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan menyeimbangkan kekuasaan antar lembaga. Namun, seringkali hasil putusan MK menciptakan ketegangan terhadap beberapa partai politik yang dianggap kontroversial oleh beberapa pihak. Sedangkan, besarnya pengaruh keputusan MK terhadap kepercayaan publik tergantung terhadap seberapa transparan setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan MK dan apakah keputusan yang diambil sudah adil atau masih berat sebelah.
Nyatanya, masyarakat sudah beberapa kali dibuat turun kepercayaannya terhadap kinerja yang dilakukan MK. Yang pertama, kasus korupsi yang menjerat Akil Mochtar yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Periode 2013--2013 dan Hakim Konstitusi periode 2008--2013. Kasus korupsi Akil merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia. Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk penjara gara-gara terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang sampai ratusan miliar rupiah. Tertangkap tangan pula. Dalam dakwaan pertama, Akil dinyatakan bersalah atas dugaan menerima suap terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar). Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar). Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. Sejumlah kepala daerah dan juga pihak swasta turut terseret dalam pusaran kasus Akil. Sebut saja, Gubernur Banten Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Keduanya terbukti menyuap Akil terkait sengketa Pilkada Lebak. Keduanya telah divonis penjara, empat tahun untuk Atut dan lima tahun untuk Wawan.
Selanjutnya terdapat kasus revisi UU MK yang mengatur masa jabatan Hakim MK. Tercatat perubahan UU No.24 Tahun 2003 tentang MK menjadi UU No.8 Tahun 2011 mengubah beberapa ketentuan seperti masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK selama 3 tahun diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 bulan. Perubahan UU MK ketiga sebagaimana UU 7/2020 mengubah masa jabatan itu menjadi 5 tahun. Syarat usia hakim konstitusi juga berubah dari 40, 47, dan terakhir 55 tahun. Begitu juga masa pensiun yang berubah dari 67 menjadi 70 tahun. Selanjutnya perubahan Pasal 87 yang mengatur masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK sampai masa jabatannya berakhir. UU 7/2020 menambah norma Pasal 87 itu sehingga hakim konstitusi dianggap memenuhi syarat dan mengakhiri masa tugas sampai 70 tahun selama seluruh masa tugasnya tidak lebih 15 tahun. Menurut beberapa pakar hukum menilai revisi UU MK selalu memuat persoalan. Substansi yang menjadi alasan utama perubahan bukan membenahi lembaga pengadilan atau penguatan kelembagaan MK tapi kepentingan politik.
Dan yang baru saja terjadi, dinamika politik yang terjadi pada Pemilu 2024. Penyalahgunaan wewenang, terbajaknya sistem demokrasi, hingga ancaman suburnya politik mewarnai jalannya Pilpres 2024, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres . Putusan ini dianggap membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka --- wali kota Surakarta yang baru berusia 36 tahun --- untuk bertarung dalam Pilpres mendatang. Hal ini tentu saja menimbulkan respon negatif dari masyarakat. Publik menilai bahwa dengan dirubahnya UU agar Gibran bisa maju dalam Pilpres 2024 sudah menjadi bukti nyata bahwa praktik politik dinasti sedang berjalan di negara kita. Lantas, bagaimana dengan sistem demokrasi yang selalu menjadi pegangan negari ini dalam menentukan sebuah pilihan dan menetapkan sebuah keputusan?
Dari tiga kasus yang sudah saya sebutkan diatas mencerminkan bahwa MK belum sepenuhnya menjalankan tugasnya sebagai pemegang konstitusi negara yang dapat menjadi kepercayaan publik. Sampai saat ini kerap kali putusan yang diambil masih terpengaruh atas kepentingan seseorang atau suatu komunitas. Jika lembaga tertinggi negara saja masih seperti ini, lalu bagaimana sistem kebawahnya? Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang menjadi cabang-cabang pengambil keputusan disektor yang lebih kecil? Bukankah akan lebih sulit menaruh percaya pada mereka? Pada siapa lagi rakyat harus menyandarkan kepercayaan bahwa negri ini masih bisa mencapai titik emasnya dan menjadi negara demokrat yang seutuhnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H