Halo sobat kompasiana! Di artikel kali ini, kita akan membahas topik mengenai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di era kepemimpinan Bapak Joko Widodo. Sebelum masuk ke isu yang akan kita bahas, baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apasih yag disebut KKN?
Yang pertama korupsi. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga bisa diartikan sebagai perilaku tidak jujur atau curang di mana seseorang menggunakan posisi kekuasaannya untuk menguntungkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Beberapa kasus korupsi yang banyak sekali terjadi di Indonesia antara lain tindakan suap-menyuap antara pihak swasta dengan pegawai pemerintah, penggelapan dana jabatan, pegawai pemerintah memeras masyarakat untuk membayar sejumlah dana tertentu dalam pengurusan dokumen yang sebenarnya gratis, gratifikasi dengan memberi barang mewah kepada pejabat agar mendapat jatah proyek. Itu hanya sebagian kecil dari kasus yang terjadi. Banyak sekali uang negara yang masuk kantong-kantong tikus berdasi yang dengan lihainya mengoarkan program yang katanya untuk rakyat tapi hanya tipu muslihat demi menikmati uang rakyat.
Kasus korupsi menimbulkan kerugian besar bagi negara dan rakyat. Mulai dari pembangunan infrastruktur yang jadi tidak merata, bantuan sosial yang tidak sampai pada penerimanya, harga jasa dan pelayanan publik pun menjadi mahal. Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo banyak sekali kasus korupsi yang terungkap diantaranya kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dan menjerat para pejabat negara, termasuk Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto. Kasus korupsi bernilai triliunan lainnya adalah perkara korupsi penyerobotan lahan oleh PT Duta Palma Group yang dimiliki taipan Surya Darmadi. Menurut Kejaksaan Agung, penyerobotan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau itu diduga merugikan keuangan negara dan kerugian ekonomi Rp 78,8 triliun. Kerugian perekonomian itu timbul akibat aktivitas sejumlah perkebunan kelapa sawit di bawah payung PT Duta Palma Group tidak dilengkapi izin sebagaimana ketentuan undang-undang,
Perkara berikutnya adalah korupsi dan pencucian uang pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang menjerat Benny Tjokro. Benny merupakan Direktur PT Hanson International Tbk. Ia diduga melakukan korupsi ini bersama tujuh orang lainnya, termasuk pihak swasta. Dalam perkara ini, uang dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN di Kementerian Pertahanan yang dipotong 8 persen setiap bulan dikorupsi dengan modus investasi. Jaksa menuntut Benny Tjokro dihukum mati karena melakukan korupsi secara berlanjut dan merugikan keuangan negara Rp 22,788 triliun.
Lalu yang kedua adalah kolusi. Kolusi adalah kerja sama rahasia yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan yang tidak terpuji. Contoh kolusi yang terjadi diantaranya menyuap tenaga pendidik agar murid diberi nilai yang tinggi, perusahaan menyuap pejabat untuk melancarkan proses pengadaan atau perizinan usaha, menyuap hakim atau jaksa agar hukumannya diperingan, menyuap petugas agar bisa memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi) tanpa harus ujian. Dampak dari kolusi tidak seperti korupsi yang nampak bukti dan datanya. Sebab kolusi dilakukan oleh mereka yang punya wewenang untuk menyabotase data yang diperlukan agar sesuai dengan yang mereka butuhkan. Tapi dampak kolusi membuat SDM yang dimiliki Indonesia menjadi semakin lemah. Sebab mereka yang memiliki kualifikasi yang sesuai akan kalah dengan mereka yang memiliki kekayaan lebih yang tidak memeiliki kualifikasi yang memadai. Beberapa kasus kolusi yang terjadi pada masa kepemimpinan Bapak Jokowi adalah Kasus gratifikasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada September 2024. Lima pegawai BEI yang bertanggung jawab terhadap penilaian calon emiten diduga meminta uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, kasus suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2018 yang melibatkan mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa, dan kasus dugaan kolusi pengadaan revitalisasi TIM yang memasuki tahapan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Majelis Komisi. Dampak kolusi dapat menyebabkan kesenjangan sosial, menghambat pembangunan, dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Dan yang terakhir adalah nepotisme. Nepotisme adalah perilaku yang mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara, terutama dalam jabatan atau pangkat di lingkungan pemerintahan. Kasus nepotisme banyak terjadi dalam masa jabatan Bapak Joko Widodo. Banyak orang-orang dalam struktur pemerintahan masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Dan kasus nepotisme yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini adalah terpilihnya Bapak Gibran Rakabumingraka sebagai wakil presiden periode 2024-2029. Hal ini dianggap sebagai nepotisme karena untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden dari Bapak Prabowo Subianto, sampai terjadi perubahan undang-undang terkait batas minimal umur calon wakil presiden. Pasalnya, Bapak Gibran yang saat ini masih berumur 37 tahun tidak memenuhi syarat seperti yang tertulis dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). Batas usia minimum capres-cawapres awalnya memang 35 tahun. Ketentuan itu berlaku pada Pilpres 2004 dan 2009 lewat Pasal 6 huruf q UU Nomor 23 Tahun 2003 dan Pasal 5 huruf o UU Nomor 42 Tahun 2008. Namun, Undang-Undang tersebut dirubah menjadi batas usia minumum capres-wapres adalah 40 thn seperti yang tertulis pada Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gibran dinilai diuntungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres/Cawapres.
Perlu diketahui bahwa kasus nepotisme tidak terjadi dalam pemerintahan saja. Dalam dunia kerja dan bahkan pendidikan pun tanpa sadar sering terjadi praktik nepotisme. Di dunia kerja, nepotisme dapat merusak moral dan motivasi karyawan, serta menurunkan produktivitas dan efisiensi. Nepotisme juga dapat menyebabkan karyawan yang lebih kompeten merasa tidak dihargai, sehingga mereka terhambat pertumbuhannya dan memilih mencari peluang di tempat lain. Di bidang politik dan ekonomi nepotisme dapat menyebabkan stagnasi politik dan ekonomi, serta mengganggu pemerataan keadilan sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat nepotisme dapat merusak kepercayaan publik dan menghambat partisipasi warga dalam proses demokratis. Dan dalam dunia pendidikan, nepotisme dapat menyebabkan siswa turun rasa semngatnya dan mengurangi rasa partisipasi siswa terhadap proses pembelajaran.
Demikian yang bisa saya tuliskan. Jika banyak salah kata mohon kelapangan untuk memaafkan. Sampai jumpa pada karya berikutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H