Transportasi merupakan salah satu unsur vital bagi pembangunan nasional. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia tak bosan dalam memastikan kesiapan dan mendukung kemajuan infrastruktur transportasi. Salah satu upaya peningkatan infrastruktur transportasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah dengan membangun kereta cepat yang sudah digunakan oleh negara-negara besar seperti China dan Jepang.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau yang kerap disingkat KCJB adalah proyek besar-besaran yang melibatkan dua negara besar di Asia, yaitu China dan Indonesia. Bahkan, proyek KCJB digadang-gadang memiliki nilai penting di mata Internasional karena proyek ini adalah proyek pembangunan kereta api cepat pertama di wilayah Asia Tenggara. Tak tanggung-tanggung, dalam rangka pemantauan KCJB, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping bahkan terjung langsung untuk menyaksikan showcase khusus saat G20 berlangsung pada bulan November tahun lalu.
Kunjungan rutin juga tampaknya menjadi salah satu agenda wajib kedua negara demi memastikan proyek besar ini berjalan sesuai dengan harapan. Melihat hal tersebut, kita bisa menilai betapa pentingnya proyek ini, baik bagi Indonesia maupun China. Tidak hanya menjadi alternatif transportasi baru, hadirnya Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung ini juga diharapkan dapat berimbas pada peningkatkan aktivitas perekonomian di wilayah yang dilalui.
Proyek KCJB ini menghabiskan biaya yang terbilang fantastis. Biaya awal yang disepakati dalam proyek ini adalah sebesar US$6,07 miliar atau setara dengan Rp91,5 triliun. Akan tetapi, proyek ini justru membutuhkan tambahan biaya yang lebih besar dan cenderung membengkak apabila dibandingkan dengan biaya kesepakatan awal. Di awal tahun 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima laporan dari Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya bahwa biaya pembangunan kereta cepat ini akan bertambah, yang mulanya sebesar US$6,07 miliar menjadi US$8 miliar atau setara dengan Rp120 triliun.
Selang setahun dari laporan mengejutkan yang diterima DPR tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komite KCJB memaparkan perhitungan pembengkakan biaya hanya sebesar US$1,17 miliar atau setara dengan Rp17,55 triliun, hal ini dilakukan tepatnya pada tanggal 9 Maret 2022. Enam bulan setelahnya, yaitu pada bulan September 2022 proyek KCJB ini lagi-lagi diperkirakan mengalami pembengkakan biaya, tepatnya sebesar US$6,071 miliar menjadi US$7,5 miliar atau setara dengan Rp112,5 triliun. Jumlah yang sangat jauh apabila dibandingkan dengan biaya kesepakatan awal.
Pada bulan November 2022, pemerintah melakukan diskusi serius terkait keterlibatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pendanaan pembengkakan biaya proyek KCJB. Berkaca pada Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 107 Tahun 2015, APBN tak seharusnya terlibat dalam pembiayaan proyek KCJB. Tanpa perlu terlibat di dalamnya, kita bisa mengetahui bahwa diskusi ini berjalan alot dan panjang.
Bagaimana tidak? Sedari awal keputusan, proyek ini berjanji untuk tidak melibatkan pemerintah, apalagi mengorek-ngorek APBN. Tak hanya perihal APBN, pemerintah Indonesia juga pada akhirnya turun tangan untuk melakukan negosiasi dengan pihak China Development Bank (CDB) terkait struktur pembiayaan KCJB. Wakil Menteri (Wamen) BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa melesetnya kalkulasi yang dilakukan oleh China merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadi pembengkakan biaya pada proyek KCJB.
Bagi Pemerintah Indonesia, proyek kereta cepat ini bukan hanya bentuk peningkatan pembangunan di sektor transportasi, tetapi juga sebagai ajang unjuk gigi bagi Indonesia di kancah Asia Tenggara. Pemerintah Indonesia juga sudah kepalang basah dan tak mungkin membatalkan proyek tersebut, sekalipun ada kendala pada dana. Sehingga, walaupun Presiden Joko Widodo pada awalnya menjamin bahwa proyek ini tidak akan menggunakan APBN barang sepeserpun, mau tak mau hal tersebut sudah tak berlaku lagi sekarang. Hingga bulan Januari 2023, total dana APBN yang akan digunakan demi menutup pembengkakan biaya proyek KCB adalah sebesar Rp7,3 triliun.
Dana tersebut juga telah disetujui oleh pemerintah dan DPR. Fakta tersebut tentu saja membuat publik meradang dan menuai kekecewaan dari berbagai pihak. Bukan hanya terkait pembengkakan biaya, proyek kereta cepat ini dijadwalkan selesai pada tahun 2019, tetapi alih-alih rampung, proyek ini justru diperkirakan baru bisa selesai di tahun 2023.
Tentu sangat mengecewakan jika KCJB yang dinilai sebagai megaproyek, justru molor selama 4 tahun lamanya. Tak berhenti sampai di situ, pada akhirnya publik juga mengungkit ucapan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan memberikan jaminan apapun terhadap proyek KCJB apabila terjadi masalah di kemudian hari, apalagi melibatkan uang rakyat di dalamnya.
Proyek KCJB saat ini menjadi beban baru bagi APBN. Terlebih, keterlibatan dana APBN tak berhenti di situ saja. Pemerintah Indonesia tentu harus berpikir matang-matang agar penetapan pembagian tanggungan pembengkakan biaya KCJB dapat disepakati dengan bijaksana, karena China tak mungkin bersedia menanggung beban proyek itu sendiri. Jika bisa, pasti akan lebih baik apabila jumlah beban yang ditanggung APBN masih bisa diperkecil. Jangan sampai kebijakan-kebijakan dalam proyek ini justru membuat APBN kita semakin terkuras.