Lihat ke Halaman Asli

Gelang Maya

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku punya segalanya, hidup mewah, populer, pintar, dan cantik. Semua orang menyukaiku, tapi aku benci semuanya, semua tentang hidupku. Aku benci Mama yang sibuk dengan bisnisnya dan Papa yang workholic hingga jarang ada dirumah. Tidak ada yang memperhatikanku. Diusiaku yang masih butuh bimbingan orang tua, aku ingin seperti Niken atau Vina,  mereka selalu ditanya, jika pulang terlambat sampai di rumah. Aku iri pada teman-temanku, mereka mendapatkan apa yang aku inginkan.
"Waah, enak ya Noy jadi kamu, udah cantik, pinter, pupoler lagi," ucap Vina padaku.
"Iya Noy, semuanya serba ada," Niken ikut menambahkan. Aku hanya bisa tersenyum kecil, karena mereka tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Mungkin semua orang melihat hidupku sempurna bagaikan sang putri kerajaan yang bahagia dengan segala yang kupunya saat ini. Tapi, apakah mereka dapat membaca keadaan batinku yang teriris-iris ini?

Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah usai sekolah. Aku pergi keluyuran sesuka hatiku, hingga larut malam tidak ada seorangpun yang mengkhawatirkan atau mencari keberadaanku. Seharusnya jika jam segini anak SMA belum tiba di rumah, semua orang tua akan kebingungan mencari anaknya namun tidak untuk Mama dan Papa. Kemana mereka, tidakkah khawatir padaku saat ini? Entahlah rasanya aku sedang hidup di neraka sendirian.
***
"Noy,,,!" seseorang berseru. Aku melihat sudah ada Niken dibelakangku.
"Noy, kemarin kamu kemana sepulang sekolah?" tanya Niken padaku.
"Aah, pulang kok kerumah," jawabku.
"Pulang kemana, ke mall ya maksud kamu?" tanya Niken lagi.
"Eh, enggak kok," tegasku.
"Aku liat kamu kok, kemaren aku juga di mall sama nyokap ". Pernyataan Niken seakan merobek hatiku, betapa bahagianya jika bisa pergi ke mall bersama Mama. Namun itu semua mustahil, aku tak pulang saja mereka begitu acuh, mana mau menyisihkan waktu mereka untukku sekedar pergi ke mall.
Disaat seperti ini, aku lebih suka menyendiri di danau yang sunyi, tempat ini adalah lokasi favoritku yang kedua setelah kamarku. Aku sering pergi sendiri di danau ini hingga larut malam dan sepertinya aku tidak sendiri kali ini. Ada seseorang yang sedang duduk di tepi danau, seorang gadis. Mungkin gadis itu juga sama sepertiku merasa kesepian, karena itu ia memilih melarikan diri ke danau ini untuk menyepi dari keluh kesah. Aku mulai melangkah mendekati gadis itu, rambutnya hitam dan terurai panjang. Ia juga mengenakan seragam sekolah sepertiku hanya saja berbeda motif. Kini aku telah duduk di tepi danau. Kami bersebelahan dengan jarak sekitar 20 jengkal duduk di tepi danau. Gadis itu menoleh kearahku dan melemparkan senyum bersahabat. Aku pun membalas senyuman itu. Aku mencoba bergeser mendekat ke samping gadis itu agar jarak kami lebih dekat, lalu aku memulai pembicaraan setelah 10 menit yang lalu kami saling bungkam.
"Namaku Noya, panggil aja Noy!" ucapku sembari mengulurkan tangan. Dengan wajah yang terlihat sendu , gadis itu melirik dan menyambut jemariku,
"Aku, Maya." Kurasakan jemarinya yang dingin, kurasa ia sudah lama di danau ini hingga tangannnya terasa dingin bagai es.
"Kamu, udah dari tadi disini?" tanyaku lagi.
"Iya" jawab Maya datar.
"Ah, pasti kamu sama kayak aku, kesepian di rumah, ngga punya temen, ngga diperhatiin, karena nyokap sama bokap sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing sampe mereka lupa kalo mereka itu punya anak..." Aku terus saja bicara sesukaku tanpa jedah sedikit pun. Namun Maya hanya diam menatap hamparan air danau dihadapannya tanpa ekspresi apapun diwajah cantiknya.
"Aku harus pulang," ucap Maya sembari bangkit berdiri dan melangkah pergi. Aku yang masih terus berkicau terpaksa menghentikan celotehanku sejenak.
"Kamu mau pulang, May?" tanyaku.
Namun Maya terus saja berjalan tanpa menoleh atau pun tersenyum. Aku menatap lekat langkahnya yang terburu-buru lalu perlahan semakin jauh hingga tak terlihat lagi sosoknya, aku melihat sebuah benda tergeletak ditempat Maya memanjakan tubuhnya sebelum ia pergi. Sebuah gelang yang terbuat dari unsur anyaman. Aku yakin ini milik Maya, yang tanpa sengaja tertinggal. Aku mengenakan gelang tersebut dan berharap dapat bertemu kembali dengan pemiliknya.
****
"Noy, Mama ada bisnis di luar kota, nanti kamu nginep aja ke rumah Nenek!" pesan singkat dari Mama yang muncul dilayar ponselku. "Nggak usah, pulang aja Ma sekalian..." aku mereply pesan Mama dengan kesal. Sungguh aku sangat membenci kedua orang tuaku, kalau boleh aku meminta aku tak ingin jadi anak mereka. Biarlah aku jadi anak Bik Mina saja, pembantu dirumahku, dari pada jadi anak mereka tapi selalu diabaikan.
Sebelum pulang ke rumah Nenek, aku pergi menuju danau untuk menemui Maya, mungkin saja ia kembali untuk mencari gelangnya yang tertinggal kemarin. Aku tak melihat siapapun di danau ini. Beberapa menit aku bermalasan di tepi danau. Nada dering ponsel ditasku berbunyi, ada nomer tak dikenal dilayar ponselku.
"Halo..." jawabku.
"Betul ini dengan nona Noy?" suara seorang pria di sana.
"Iya, betul, " jawabku singkat.
"Kami dari kepolisaan mengabarkan bahwa ibu anda kecelakaan dan meninggal dunia." Seketika aku bungkam mendengar kata-kata pria itu. Mataku mulai tergenangi oleh buliran air mata, tak kuasa membendung kesedihan.
"Mamaaaaa..." aku mulai terisak di tepi danau.
****
Seminggu setelah kepergian Mama yang begitu membekas di hati telah berlalu. Ada penyesalan yang mendalam. Aku ingat setiap ucapan kejam yang terlontarkan dibatinku, seakan semua berubah menjadi doa yang siap dikabulkan Tuhan. Papa terlihat semakin sibuk saja dan tak pernah terlihat olehku berada di rumah, bahkan disaat menjelang ulang tahunku. Seharusnya Papa di sini bersamaku menanti usiaku genap 16 tahun tepat pukul 12 malam nanti. Aku duduk di ruang tamu sendiri, dihadapanku sudah ada kue yang berhiaskan lilin. Aku ingin menanti Papa pulang dan merayakan ulang tahunku bersama Papa. Pukul 00.45 dini hari telphone rumah berbunyi, aku beranjak meraih gagang telphone
"Halo..." jawabku.
"Selamat malam, benar ini rumah bapak Sugito?" tanya seseorang di sana.
"Iya, " jawabku datar.
"Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan bahwa pak Sugito meninggal dunia dini hari terkena serangan jantung". Gagang telepon ditanganku terjatuh, aku seakan tak percaya mendengar pengakuan seorang wanita itu.
"Papaaa..." air mataku mulai jatuh, aku terisak menangis sejadi-jadinya.
****
"Kenapa... Kenapa kalian meninggalkan Noy secepat ini? Noy kangen Ma,,, Pa,,,!" tangisku mulai pecah dikesunyian danau, tiba-tiba suara seseorang mengejutkanku.
"Bukannya ini yang kamu mau Noy," aku menoleh ke belakang dan sudah ada seseorang yang kukenal di sana.
"Maya..." desahku.
"Seharusnya kamu bahagia Noy, karena apa yang kamu inginkan terwujud," ucap Maya bengis.
"Maksud kamu May?" tanyaku heran.
Aku menatap Maya penuh curiga. Wajahnya pucat pasi. Sorot matanya hanya satu arah tertuju pada hamparan air danau yang membentang luas tepat di depan kami. Aku tak paham kalimat terakhir Maya. Ada sejuta tanya dibenakku. Mengapa Maya seakan menyalahkanku? Maya tersenyum lebar, ada kemenangan dibalik senyumnya, Maya seakan begitu bahagia melihatku terpuruk saat ini.
"Selamat tinggal Noy, Papa dan Mamamu sedang bahagia di sana. Disisi Tuhan, bersamaku…" lalu Maya menghilang entah kemana
****
"Pagi Noy," ada Niken yang setia menungguku didepan kelas, menyapa penuh kehangatan. Dirangkulnya pundakku hingga kami sampai di tempat duduk masing-masing. Vina yang terlihat asik dengan majalahnya begitu serius membaca sebuah artikel, ada sebuah foto yang menarik perhatianku di dalam artikel itu
"Maya,"gumamku.
"Kamu kenal sama nih cewek, Noy?" tanya Vina sembari menunjukkan artikel yang masih ditangannya.
"Emangnya dia siapa Vin," aku pura-pura tidak tahu.
"Maya Renata, seleb yang nekat bunuh diri di danau cinta," jelas Vina.
"Loh, itu kan danau yang sering kita datengi," sahut Niken.
"Iya, nasipnya mirip kayak Noy, masih muda udah ditinggal pergi sama orang tua. Tapi.. Noy beruntung masih punya Kakak meskipun jauh".
Seketika aku terdiam mendengar penjelasan Vina. Sosok Maya yang kutemui di danau cinta sangat mirip dengan wajah gadis yang ada pada artikel itu dan artinya Maya sudah... 'Astaga,' Maya yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar ternyata salah satu penunggu danau cinta. Lalu gelang Maya yang melingkar ditanganku adalah benda kesayangannya. Mungkin Vina benar, aku masih beruntung masih memiliki seorang Kakak, serta teman-teman yang menyayangiku. Kehadiran Maya seakan berpesan bahwa Mama dan Papa memang telah bahagia disana, disisi Tuhan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline