Lihat ke Halaman Asli

Moh Nur Nawawi

TERVERIFIKASI

Founder Surenesia

Transhipment Kapal Ikan Bisa Diizinkan Jika Transparan, Sesuai Aturan dan Mau Diawasi

Diperbarui: 23 September 2019   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapal ikan sedang melakukan kegaiatan pemindahan muatan (transhipment) di tengah laut. Sumber gambar: pewtrust.org

Setiap hari di seluruh dunia, kapal penangkapan ikan komersial melakukan kegiatan pemindaahan muatan ke kapal pengangkut berpendingin meliputi ikan -- ikan dengan nilai ekonomis tinggi seperti tuna, salmon, kepiting, dan spesies laut lainnya, yang kemudian dibawa ke pantai untuk diproses. Kegiatan ini biasa diikenal sebagai transshipment.

Secara teori kegiatan transhipment sangat membantu perusahaan dalam kegiatan memindahkan ikan ke pelabuhan efisien, sehingga kapal pennagkap ikan terus dapat operasi tanpa harus meninggkalkan daerah operasi penangkapan ikan hanya untuk mengantar ikan muatan atau hasil tangkapan ke pelabuhan.Tetapi pada umumnya dalam melaksanakan kegiatan transhipment mereka sering melakukan di daerah perairan laut yang jauh dari pandangan dan jangkauan otoritas yang berwenang, bahkan terkesan menghindari aparat penegakan hukum.

Berdasarkan data yang di rilis oleh The Pew Charitable Trusts menemukan bukti bahwa banyak terjadi penyimpangan dalam pelaporan kegiatan transhipmen oleh kapal-kapal perusahan penangkapan ikan. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) adalah sebuah otoritas perikanan regional yang konsen dalam upaya mencegah kegiatan penangkapa ikan secara ilegal, tidak sesuai dengan aturan dan tidak dilaporkan atau Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) fishing banyak mmendapat informasi terkait kegiatan transhipment yang tidak dilaporkan ke otoritas yang berwenang.

Di Indonesia kegaiatan transhipmen secara ilegal telah menjadi perhatian khusus sejak tahun 2014 silam, karena kegiatan transhipmen dilaut sangat merugikan dengan sistem ini pelabuhan perikanan akan sepi karena kegiatan pelelangan ikan tidak berjalan dengan baik, ikan -- ikan yang seharusnya dilelang di pelabuhan pendaratan ikan telah di alih muatkan di tengah laut. Selain faktor tersebut kegiatan transhipment banyak terindikasi dilakukan dengan beberangan kegaiatn ilegal fishing, dimana ikan -- ikan diperairan Indonesia yang ditangkap langsung dibawa ke luar negeri.

Indonesia sendiri telah melarang transshipment sejak November 2014 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 57/Permen-KP/2014 tentang Perubahan Kedua Permen KP No 30/Permen-KP/2012. Pemerintah saat itu dalam hal ini kementerian kelautan dan perikanan beralasan transshipment selama ini menjadi modus pencurian ikan dengan memindahkan muatan di tengah laut, lalu mengangkutnya ke luar negeri.

Melihat kondisi di lapangan pada April 2016, larangan transhipment diperlonggar melalui penerbitan Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap No 1/Per-DJPT/2016. Pemerintah mengizinkan transhipment secara terbatas. Sistem penangkapan ikan dalam satu-kesatuan operasi pun diperkenalkan. Pemerintah juga memunculkan terminologi kapal penyangga untuk menggantikan kapal pengangkut. Sistem tersebut membatasi tiga kapal penangkap ikan dan satu kapal penyangga dalam satu-kesatuan operasi. Kapal penyangga nantinya membawa ikan ke pelabuhan pendaratan ikan.

Transhipment bukanlah hal yang tabu di perairan laut banyak kegaiatan dengan dalih efisiensi seperti transhipment dilakukan di tengah laut tidak hanya untuk pemindaha muatan hasil tangkapan tetapi juga barang -- barang ekonomis lainnya banyak yang dilakukan pemindahan ditengah laut, seperti pernyataan pada paragraf pertama diatas bahwa setiap hari dilautan seluruh dunia terjadi banyak kegiatan transhipment.

Kita bisa menengok ke negara tetangga seperti singapura dimana transhipmen barang ditengah laut diatur sedemikian rupa agar mudah dikendalikan dan diawasi, mungkin bagi singapura hal ini bukanlah hal sulit mengingat pengawasan kegiatan tersebut akan mudah dilakukan dengan melihat luasan perairan yang dimiliki, tapi bagaimana dengan negara yang memiliki perairan yang sangat luas seperti Indonesia hal tersebut tentu akan sangat menyulitkan, dengan armada dan infrastruktur pengawasan yang belum mencakup lluasan perairan yang sangat luas tentunya akan menajdi celah bagi para pelaku dilapangan untuk melakukan praktek yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan yang berlaku dengan dalih efisiensi usaha.

Di dunia internasional Transhipment juga menjadi permasalahan tersendiri yang terindikasi banyak dilakukan di laut lepas yang jauh dari pantauan otoritas yang berwenang organisasi pengelolaan perikanan Internasional seperti WCPFC dan Regional fisheries management organisations ( RFMOs ) transhipment menjadi masalah serius yang di hadapi oleh negara -- negara pantai sehingga perlu adanya upaya yang serius dalam menanggulangi permasalahan tersebut banyak rekomendasi diberikan seperti pemasangan infrastruktur pengawasan kapal yang terintegrasi sehingga memudahkan pengawasan kapal -- kapal khususnya kapal ikan seperti Automatic Identification System (AIS) yaitu sebuah alat yang dipasang dikapal dimana pergerakan kapal mampu terpantau oleh kapal lain maupun stasiun pantai terdekat. Serta dibangunnya kerja sama antar negara dalam mengawasi kegiatan transhipment ilegal, tapi tentunya hal itu akan selalu memiliki sisi kelemahan khususnya dibidang pengawasan, mungkin langkah yang diambil pemerintah Indonesia masih menjadi langkah yang sangat strategis bila memperhatikan kondisi -- kondisi tersebut.

Ketika transhipmen juga menjadi masalah global dalam rangka membantu memastikan kepatuhan perusahan -- perusahan penangkapan ikan serta upaya dalam pengumpulan data yang terintegrasi sehingga bisa menjadi tolak ukur bagi organisasi international yang juga dapat diakses oleh negara -- negara pantai harus dibuat aturan bersama secara international yang bisa di terjemahkan menjadi aturan -- aturan regional dan nasional negara -- negara pantai, dimana aturan bersama itu bisa meliputi upaya intervensi bagi perusahaan dan kapal kapal perikanan dunia yang mencakup kepatuhan mereka dalam melakukan kegiatan transhipment.

1. Bagi kapal ikan dan pelaku usaha harus melaporkan semua kegiatan transshipment, meliputi lokasi, waktu, jenis transhipment dan lokasi asal menangkap kepada negara - negara yang relevan dengan  bendera kapal, Negara pantai terdekat atau pada sekretariat RFMO.

  1. Bagi negara -- negara pantai harus mampu meningkatkan pemantauan aktivitas transshipment melalui peningkatan cakupan pengawasan dilaut , sistem pemantauan secara elektronik, dan sistem penelusuran kapal -- kapal perikanan dengan izin negara yang bersangkutan dalam rangka memantau operasi usaha kapal-kapal tersebut. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan kerja sama negara-negara pantai untuk cakupan luasan perairan yang lebih luas.
  2. Meningkatkan kerja sama serta perjanjian berbagi data (termasuk yang terkait dengan informasi transshipment) antar negara -- negara yang memiliki keterkaitan , antar organisasi yang konsen pada perikanan international.
  3. Merekomendasikan kelengkapan infrastruktur komunikasi dan pengawasan bagi perusahan -- perusahan sehingga kapal mereka harus dilengkapi dengan peralatan sehingga mempermudahkan pengawasan kegaiatan mereka dilaut.

Beberapa hal diatas bisa menjadi kerangka acuan bagi negara-negara pantai yang memiliki perairan laut sehingga upaya penangkapan ikan serta efisiensi usaha tersebut tidak merugikan dan mudah dalam pengawasannya, menyiapkan sikap patuh hukum bagi para pengusaha perikanan serta sebuah regulasi yang mampu mengadopsi segala kebutuhan bersama demi sebuah pemanfaatan hasil laut yang berkelanjutan dengan mengedepankan kebutuhan masyarakat dunia serta upaya konservasi ekosistem laut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline