Maraknya iklan pinjaman online di media sosial yang berasal dari berbagai penyedia dan/atau lembaga penyedia layanan pinjaman online (fintech lending) yang disertai dengan iming-iming syarat mudah hingga promo ataupun bonus yang menarik tentu saja dapat menarik minat bagi para individu maupun masyarakat tanpa berfikir panjang mengenai konsekuensi yang ditimbulkan.
Lebih lanjut lagi, pinjaman online (pinjol) saat ini telah menjamur di berbagai kehidupan kalangan masyarakat. Praktik ini terutama disebabkan karena kondisi ekonomi yang sulit, perilaku masyarakat yang konsumtif, serta lemahnya regulasi baik dari sistem pengawasan maupun penegakan hukum terhadap lembaga penyelenggara pinjaman online (kreditur).
Konsumen yang sudah terjebak dalam ekosistem pinjaman online akan lebih mudah tergiur mengatasi persoalan keuangannya dengan cara ini. Persyaratan yang mudah serta pencairan dana yang cepat dengan konsekuensi membebankan bunga dan biaya layanan yang tinggi tentunya akan merugikan konsumen, terutama untuk konsumen yang kurang membaca dan memahami terkait literasi keuangan. Hal ini terutama terjadi di penyedia pinjaman online illegal yang cenderung kurang transparan dalam memberikan informasi terkait pinjaman yang ditawarkan dan membuat konsumen menjadi semakin "terjebak" dalam belenggu pinjaman online.
Berbeda halnya dengan penyedia fintech lending yang legal yang sudah terdaftar dan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut sebagai OJK) yang cenderung transparan dan hati-hati dalam memberikan pinjaman terhadap konsumen. Dalam hal ini, sesuai dengan kode etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (untuk selanjutnya disebut sebagai AFPI) dan OJK yang menegaskan bahwasanya penyedia fintech lending tidak diperkenankan untuk menetapkan bunga dan biaya layanan lebih dari 0,8 % per hari.
Adapun regulasi terkait pinjaman online dalam hal ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi yang tentunya memiliki peran sangat penting dalam mengawasi seluruh lembaga penyedia pinjaman online.
Selain itu, ada aturan lain mengenai pinjaman online yang tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 18/SEJOK.01/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Peraturan Bank Indonesia Nomor Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 pengaturan tentang pinjaman online Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Lebih lanjut, mekanisme dari pinjaman online yang mengikat antara pihak debitur dan kreditur dalam suatu perjanjian biasa dikenal dengan istilah E-contract (kontrak elektronik). Kontrak elektronik merupakan suatu perjanjian yang dibuat, dinegoisasikan, dan dilaksanakan dengan menggunakan sistem elektronik yang mana para pihak saling sepakat untuk mengikatkan diri pada suatu kewajiban tertentu.
Adapun penjelasan mengenai kontrak elektronik ini dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (untuk selanjutnya disebut sebagai UU ITE) yang pada intinya menjelaskan bahwasanya kontrak elektronik merupakan perjanjian yang mengikat para pihak dan dibuat melalui sistem elektronik.
Sama halnya dengan suatu perjanjian pada umumnya, dalam kontrak elektronik dalam hal ini wajib memenuhi unsur Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan keabsahan perjanjian memerlukan 4 syarat, yaitu adanya kesepakatan para pihak, pihak yang cakap, adanya sutau hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jadi, meskipun kontrak ini dilakukan secara elektronik selama sudah memenuhi unsur Pasal 1320 KUH Perdata akan tetap bersifat sah dan mengikat para pihak.
Akan tetapi meskipun mekanisme mengenai pinjaman online sudah memiliki regulasi dan pengawasan yang sangat ketat, nyatanya tidak sedikit diketemukan pelaku usaha pinjaman online yang melanggar kewajibannya sebagi pelaku usaha. Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak konsumen Pemerintah menciptakan peraturan tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi konsumen dari perbuatan curang yang dilakukan oleh oknum pelaku usaha.
Perlindungan hukum terhadap konsumen terkait Pinjaman Online diterapkan dengan melakukan sistem pengawasan terhadap perusahaan berbasis fintech yang dalam hal ini berkaitan erat dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.