Lihat ke Halaman Asli

Pada Yaum ke 9

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

:mengenang embah kakung

Lebih dari satu jum’ah berlalu sudah
Deru deras linang hujan dan geraman-geraman penyesalan
Mengering meresap dan membatu
Ke dalam sebidang tanah, ranah yang telah menghitam kepekatan
Menelusupkan setitik keterangan, ah betapa rasanya…

Kata-kata sabda memorabilia yang berulang-ulang dikisahkan,
Sebuah rerengekan kecil ketidaktahuan,
Dan kenangan kebimbangan antara fakta dan fatamorgana,
Ah, rasanya jiwa itu masih belum tercabut jua, aku tidak percaya…
Masih saja belum percaya…belum saja percaya…

How huh,…
Astaghfirullah hal adziim…
Seseorang yang bijak akan selalu mampu menjual sebidang ladang gersang
Yah, pukauan berpuluh-puluh tangan yang saling bergenggaman menuturkan
Sesaat yang manfaat sebagai tujuan atas ruh yang ditiupkan
Ah, betapa indahnya rujukan yang demikian…

Laku demi laku yang menuturkan kebijakan
Keahlian menaklukkan perapian
Dan berbagai uswatun hasanah tanpa suara
Ah, bagaikan sebatang padi yang kian berisi
Yang tak jua kuwarisi hingga segalanya seolah mati
Memenjarakanku dengan buhul amaterasu

Yaa Allah…
Kaki ini hanya kulangkahkan menuruti detak detik masa yang bergulir
Dengan memerami ilmi-ilmi yang kupunguti di sekian hari
Dengan sesekali hasrat membasahi ranah tanah
Izinkanlah Allah…

Allahummaghfirlahu…Warhamhu…Wa’aafihi…Wa’fu’anhu…
Amiin…

R.D. 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline