Lihat ke Halaman Asli

nauval afnan

Netijen Julid

Etnosentrisme, dalam "Jokowi dan Al Fatekah-Nya"

Diperbarui: 30 Mei 2019   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional Tahun 2018 di jalan William Gd. Serbaguna Kota Medan Oktober tahun lalu. Uniknya dalam membuka acara tersebut, warganet justru terfokus pada kesalahan Jokowi saat melafalkan al-fatihah menjadi al-fatekah.

 "Ala Hadihi niyat, al-fatekah." Begitulah cuplikan pidato Jokowi mengajak masyarakat mendoakan korban bencana di Sulawesi Tengah. Sontak para hadirin yang mengikuti acara tersebut riuh dan membenarkan lafal menjadi al-fatihah. "Al-fatihah...." teriak penonton yang membenarkan kesalahan lafal Jokowi.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainud Tauhid, angkat bicara dalam persoalan ini. Zainut memaparkan 'al-fatihah' merupakan nama surat pertama dalam Al-Quran tapi bukan ayat Al-Quran, jadi jika terdapat kesalahan pelafalan 'al-fatiha' masih bisa dimaklumi. Namun dialek yang berkaitan dengan ayat suci Al-Quran diusahakan sesuai dengan makhroj hurufnya.

Menurut ustaz Fahmi Saefuddin dikutip dari islami.co, "Dalam aturan fikih, orang yang tidak mampu membaca Al-Quran sebagaimana mestinya tetap dibolehkan melafalkan bacaan salat sesuai dengan kemampuannya. Karena Islam itu memudahkan, tidak memberatkan." (Saefuddin, 2018)

Namun cuplikan pidato Presiden Jokowi saat membuka acara tersebut menjadi viral di Youtube dan Whatsapp Group. Banyak warganet yang mencaci kesalahan Jokowi ada pula yang membela. Terang saja masalah tersebut menjadi besar karena terjadi pada situasi politik yang panas jelang Pemilu 2019. Perilaku warganet yang mencaci Jokowi terhadap kejadian tersebut didasari atas rasa ketidaksukaannya terhadap Jokowi hingga menimbulkan etnosentrisme.

Etnosentrisme adalah penilaian terhadap budaya lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain sebagai konotasi negatif karena dibandingkan dengan kelompoknya yang dianggap lebih superior. Khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama.

Seperti komentar netizen bernama Robby Anggara dalam cuplikan video pidato Jokowi dalam pembukaan acara tersebut yang beredar di Youtube. "Dasar keristen" tulisnya di kolom komentar.

Dalam konteks ini Robby Anggara menuding Jokowi Kristen karena agama yang dianutnya bukan Kristen sedangkan agama Kristen dianggapnya tidak lebih baik dari agama yang dianutnya (kita asumsikan agama yang dianut Robby adalah Islam). Lalu dalam penerapannya Robby menganggap kesalahan pelafalan al-fatihah oleh Jokowi tidak mencerminkan citra Islam seperti agama yang dianutnya.

Tuduhan Robby terhadap Jokowi tentu saja mengandung konotasi negatif. Hal tersebut bisa dikarenakan faktor terpengaruhnya Robby atas isu PKI yang menyerang Jokowi belakangan ini. Robby menganggap bahwa PKI bukan legitimasi dari Islam agama yang dianutnya.

Kasus ini mengingatkan saya lagu daerah asal Madura yang berjudul Coca Cola yang dinyanyikan oleh ustaz Khorul Anwar bersama para santri sebagai penyanyi latarnya. Lagu tersebut dikemas lucu dan menghibur. Mengusung lirik candaan lokal, lagu Coca Cola dalam album Al-Abror langsung terkenal ketika diunggah di Youtube beberapa tahun lalu.

Konsep dalam lirik lagu tersebut yaitu penyanyi salah mengucapkan diksi yang didominasi bahasa Inggris. Diksi bahasa Inggris yang sering diucapkan sehari-hari dijadikan lirik, contohnya seperti Facebook, clear, notebook, bluetooth, welcome dll. Penyanyi merasa kesulitan membaca diksi-diksi bahasa Inggris tersebut lalu dibaca sesuai ejaan bahasa Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline