Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan (Health, Labor, and Welfare Ministry of Japan), Jepang mengalami masa dengan tingkat kelahiran paling rendah di 2023 semenjak 1899 dengan angka hanya mencapai 758.631 bayi yang mana angka tersebut lebih rendah 5,1% dari tahun sebelumnya. Rendahnya angka kelahiran yang terjadi memiliki domino's effect terhadap masa depan Jepang, mulai dari rendahnya usia produktif yang berdampak terhadap perekonomian hingga keamanan negara sehingga Pemerintah Jepang mendeklarasikan isu ini sebagai kondisi kritis. Oleh karena itu, mereka harus bertindak cepat untuk mencari solusi mengingat populasi generasi muda akan mulai menurun dengan cepat sejak 2030.
Rendahnya tingkat kelahiran menunjukkan bahwa generasi muda Jepang memiliki kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam melahirkan dan membesarkan seorang anak. Fenomena ini mencerminkan perubahan budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat Jepang, di mana faktor-faktor krusial, seperti kehidupan yang layak dan harapan akan kualitas hidup yang lebih baik menjadi pertimbangan utama dalam keputusan untuk memiliki anak. Kesadaran ini dibarengi dengan pemikiran mendalam terkait dampak finansial, emosional, dan sosial dari keputusan menjadi orang tua secara hati-hati demi kesiapan mental dan finansial. Hal ini selaras dengan pemikiran Immanuel Kant yang menekankan pentingnya logika dan rasionalitas dalam memahami dunia di mana kedua hal tersebut merupakan instrumen penting dalam proses pemikiran yang benar dan pengambilan keputusan yang bijaksana. Selain itu, manusia sudah seharusnya memiliki kemampuan untuk menggunakan akal budi secara independen, yaitu kemampuan untuk memikirkan dan memahami dunia secara mandiri, tanpa mendapat pengaruh dari luar. Baginya, tindakan yang didasarkan pada rasionalitas adalah tindakan yang bermoral dan bermakna yang pada kasus ini dibuktikan dengan pemikiran rasional generasi muda Jepang dalam menetapkan pilihan hidupnya. Pemikiran ini juga sejalan dengan sistem pendidikan Jepang yang mengedepankan logika, rasionalitas, dan prestasi akademik sehingga mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap pengambilan keputusan logis dan bertanggung jawab.
Jepang mengalami masalah rendahnya angka kelahiran atau low fertility rate disebabkan oleh beberapa hal, faktor utama yang berkontribusi adalah rendahnya angka perkawinan (low marriage rate) di mana pada pada 2023, jumlah perkawinan turun sebesar 5,9% dengan total 489.281 pasangan. Angka tersebut menandai kali pertama dalam kurun waktu 90 tahun terakhir bagi Jepang menorehkan angka perkawinan kurang dari 500 ribu pasangan. Penurunan angka tersebut berdampak pada angka kelahiran (low birth rate) karena Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai keluarga berdasarkan tradisi paternalistis, suatu pandangan yang menekankan orang tua sebagai figur pemimpin dalam keluarga, sehingga kasus kelahiran di luar ikatan pernikahan jarang terjadi. Kondisi ini berdampak langsung pada tingkat kelahiran yang menurun di negara tersebut. Semakin sedikitnya pasangan yang memilih untuk membentuk sebuah keluarga maka semakin sedikit pula angka kelahiran baru.
Kondisi di atas semakin diperparah dengan budaya kerja di Jepang yang berorientasi pada kedisiplinan, dedikasi, dan loyalitas terhadap pekerjaan. Tuntutan ini mengakibatkan banyaknya pekerja mengalami kelelahan, stres, hingga meninggal dunia, salah satunya disebabkan oleh jam kerja yang panjang (long working hours) bahkan melebihi standar internasional sehingga para pekerja tidak memiliki waktu luang untuk diri sendiri, melakukan interaksi dengan sesama, atau membentuk sebuah keluarga. Selain itu, sebagian besar perusahaan di Jepang lebih memilih untuk merekrut pegawai tidak tetap dengan posisi tidak stabil yang berujung pada upah lebih rendah dan manfaat yang lebih sedikit. Kesulitan ini mengakibatkan dilema bagi mereka, antara memenuhi ekspektasi pekerjaan atau membina sebuah rumah tangga dan memutuskan untuk berketurunan. Dilema ini juga diperkeruh dengan tingginya biaya hidup (cost of living) yang kenaikannya tidak selaras dengan gaji yang diperoleh. Situasi ini menimbulkan tekanan tambahan bagi individu dan keluarga, memperumit keputusan terkait pernikahan, pembentukan keluarga, dan perencanaan masa depan. Ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan membuat banyak orang mencapai stabilitas finansial yang diinginkan, memperumit potensi untuk menikah dan membesarkan anak.
Peristiwa rendahnya tingkat kelahiran di Jepang memiliki banyak dampak negatif, salah satu di antaranya yang paling merugikan untuk negara adalah rendahnya jumlah sumber daya manusia berusia produktif di masa depan yang dapat mengancam kekuatan dan pertahanan nasional. Jumlah populasi yang rendah dapat mengancam kekuatan pertahanan nasional suatu negara. Dalam situasi di mana jumlah personel militer sangat penting, rendahnya angka kelahiran dapat mengurangi kemampuan negara untuk mempertahankan diri dari ancaman luar. Hal ini sejalan dengan teori Aristoteles tentang politik, di mana Ia berpandangan bahwa polis (kota-negara) sebagai suatu unit politik yang paling mendasar dalam organisasi masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan warga negaranya mencapai kebahagiaan (eudaimonia), di mana masyarakat dapat mencapai kebahagiaan sejati melalui partisipasi dalam kehidupan politik, budaya, dan sosial. Tujuan polis ini terancam tidak akan tercapai apabila terdapat penghalang terhadap keamanan dan integritas nasional, yaitu terbatasnya sumber daya manusia. Eudaimonia juga tidak akan tercapai apabila masyarakat tidak merasa dirinya aman (secured) untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara karena mereka akan selalu dilanda rasa cemas dan tidak tenang.
Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan adanya low fertility rate adalah ketidakyakinan dan situasi yang tidak mendukung masyarakat Jepang untuk membentuk suatu keluarga dan memiliki keturunan, yang mana dalam Islam, seperti yang sudah dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah : 233.
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya."
Ayat di atas memberikan panduan tentang pengasuhan anak dan memberikan dorongan untuk memperhatikan kepentingan serta kesejahteraan dalam pernikahan dan berkeluarga. Sehingga, walaupun individu tidak memiliki keyakinan dalam memiliki keturunan, setiap individu harus berperan dalam mendidik dan membimbing anak-anak mereka. Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa tanggung jawab atas pengasuhan dan perhatian terhadap kesejahteraan anak harus diutamakan. Sehingga penting bagi pasangan untuk benar-benar yakin dan mampu untuk mempertimbangkan secara bijak dalam hal tanggung jawab mengenai kesejahteraan anak sebelum merencanakan memiliki keturunan.
Dari penjelasan yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa Jepang menghadapi tantangan serius akibat rendahnya tingkat kelahiran, yang berdampak luas mulai dari ekonomi hingga keamanan nasional. Penurunan angka kelahiran ini tercermin dari perubahan budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat Jepang, di mana faktor-faktor krusial seperti kualitas hidup dan stabilitas finansial menjadi pertimbangan utama dalam keputusan untuk memiliki anak. Fenomena ini juga mencerminkan pemikiran rasional generasi muda Jepang dalam menetapkan pilihan hidupnya, yang sejalan dengan sistem pendidikan yang mengedepankan logika dan prestasi akademik. Faktor utama yang berkontribusi pada rendahnya tingkat kelahiran Jepang adalah rendahnya angka perkawinan, yang juga dipengaruhi oleh budaya kerja yang berorientasi pada kedisiplinan dan tuntutan yang tinggi. Dampak dari rendahnya tingkat kelahiran mencakup rendahnya jumlah sumber daya manusia berusia produktif di masa depan, yang dapat mengancam kekuatan dan pertahanan nasional. Dalam konteks ajaran Islam, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 233, penting bagi individu untuk memperhatikan kesejahteraan anak-anak dan tanggung jawab pengasuhan dengan bijak sebelum memutuskan untuk memiliki keturunan. Kesimpulan ini menyoroti kompleksitas isu rendahnya tingkat kelahiran dan pentingnya pertimbangan yang bijaksana dalam merencanakan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H