Lihat ke Halaman Asli

Naufal Tri Hutama

Student in the History of Islamic Civilization program

Menggali Etika dan Pendidikan dalam Pemikiran Ibnu Miskawaih, Sebuah Warisan Filosofis yang Abadi

Diperbarui: 25 Juli 2024   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ibnu Miskawaih (sumber: instagram.com/faso_kawaii)

Ibnu Miskawaih, atau lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Ya'qub Miskawaih, adalah salah satu pemikir besar dalam sejarah filsafat Islam yang memberikan kontribusi yang besar dalam bidang etika dan pendidikan. Dilahirkan pada tahun 932 M di Rayy, Persia, ia hidup pada masa keemasan peradaban Islam ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang pesat. Pemikiran Miskawaih mengenai etika dan pendidikan masih relevan hingga hari ini, memberikan panduan moral dan intelektual yang berharga.

Filsuf Islam ini dikenal karena kemampuannya menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, terutama melalui karya utamanya, "Tahzib al-Akhlaq" (Penyucian Akhlak). Ia juga menulis tentang sejarah, filsafat, dan ilmu pengetahuan lainnya, menjadikannya seorang intelektual serba bisa pada masanya. Karya-karyanya sering kali dianggap sebagai jembatan antara tradisi pemikiran Yunani dan dunia Islam.

Dalam konteks modern, pemikiran Ibnu Miskawaih tentang etika dan pendidikan masih sangat relevan. Nilai-nilai moral dan pendidikan karakter yang ia ajarkan dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah sosial dan moral yang dihadapi masyarakat saat ini. Prinsip-prinsip yang ia kembangkan dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat luas.

Etika dalam Pemikiran Ibnu Miskawaih

Miskawaih meyakini bahwa etika adalah bagian integral dari kehidupan manusia yang harus diarahkan pada tujuan tertinggi, yaitu kebahagiaan sejati. Dalam "Tahzib al-Akhlaq," ia menguraikan konsep-konsep etika yang diilhami oleh ajaran Aristoteles, namun diadaptasi sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Menurutnya, jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian: jiwa rasional (al-nafs al-natiqah), jiwa emosional (al-nafs al-ghadabiyyah), dan jiwa keinginan (al-nafs al-shahwaniyyah). Ia berpendapat bahwa keutamaan (virtue) dicapai melalui keseimbangan antara ketiga aspek ini. Jiwa rasional harus memimpin, mengendalikan jiwa emosional dan jiwa keinginan agar manusia dapat menjalani kehidupan yang bermoral dan beretika.

Ibnu Miskawaih mengidentifikasi empat keutamaan utama: kebijaksanaan (al-hikmah), keberanian (al-shaja'ah), kesederhanaan (al-iffah), dan keadilan (al-adlah). Keempat keutamaan ini saling melengkapi dan harus dikembangkan secara bersama-sama untuk mencapai kehidupan yang baik. 

Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang benar tentang apa yang harus dilakukan; keberanian adalah kemampuan untuk menghadapi bahaya dengan ketenangan; kesederhanaan adalah pengendalian diri dari keinginan yang berlebihan; dan keadilan adalah memberikan hak kepada diri sendiri dan orang lain secara proporsional.

Miskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki tidak dapat diraih hanya melalui pemenuhan kebutuhan material atau kenikmatan jasmani. Sebaliknya, ia meyakini bahwa kebahagiaan sejati bersumber dari hidup yang dilandasi etika, dicirikan oleh jiwa yang seimbang dan pengembangan sifat-sifat mulia. Pandangan ini selaras dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan budi pekerti luhur serta menjalin relasi yang baik, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia.

Pendidikan dalam Pemikiran Ibnu Miskawaih

Selain etika, Ibnu Miskawaih juga memberikan perhatian besar pada pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter dan moral individu. Ia memandang pendidikan sebagai proses penyucian jiwa yang harus dimulai sejak dini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline