Selayaknya kita ketahui, bahwa Indonesia banyak membutuhkan perencana. Sebuah perhitungan yang tadinya saya anggap konyol membuktikan ini: ada 34 provinsi di Indonesia, dengan 416 kabupaten dan 98 kota. Anggaplah setiap satuan wilayah tersebut memerlukan RTRW, berapa jumlah RTRW yang harusnya ada? Belum lagi RDTR, berapa banyak lagi RDTR yang harusnya dibuat? Jika kita kalkulasikan, maka jika satu kota atau kabupaten, atau bahkan provinsi memerlukan satu orang perencana, berapa jumlah perencana yang dibutuhkan Indonesia?
Masalahnya begini, jadi perencana itu tidak mudah: empat tahun kuliah di jenjang perguruan tinggi, plus sistem sertifikasi, belum lagi jika perlu kuliah lagi atau lanjut di luar negeri. Lucu rasanya, mengingat ketika negara ini membutuhkan banyak perencana, tapi untuk jadi perencana (apalagi yang handal dan kredibel) itu sulit.
Bagaimana negara begitu butuh perencana, bisa pula kita lihat melalui sistem peminatan untuk jurusan perencanaan wilayah dan kota di beberapa universitas, salah satunya di ITB. Ada pula pembukaan “cabang” jurusan PWK ITB di Cirebon. Tapi toh percuma rasanya, karena bagaimanapun mereka (baca: kita) ini akan melewati tantangan yang sama seperti yang dijelaskan di atas.
Jika “perencanaan” merupakan suatu hal yang penting untuk dimengerti, rasanya mungkin empat tahun kuliah tidak akan memberikan pemahaman soal hal ini. Entahlah, tapi tiga tahun kuliah belum membuat saya bisa mendefinisikan secara pasti makna dari kata yang diagungkan itu.
Beberapa waktu yang lalu, dalam rangka survey awal kuliah praktik, saya mengunjungi (untuk pertama kali) Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Bagi yang kurang familiar, di kecamatan inilah terletak Situ Cisanti. Daerah ini terletak sejauh 60 km dari Bandung, atau sekitar 2 jam menggunakan kendaraan bermotor.
Bersama seorang teman yang ternyata Ketua Himpunan, disana saya menghabiskan waktu di Desa Tarumajaya. Di desa ini terdapat sebuah perkumpulan pemuda lokal yang menamakan diri mereka “Institut Gunung Wayang” sesuai dengan letak desa tersebut yang berada di kaki Gunung Wayang. Banyak kegiatan bermanfaat yang mereka lakukan, seperti menjalankan sistem bank sampah kolektif, memproduksi pupuk organik secara mandiri, memproduksi panganan khas dari bahan susu dan teh, ataupun sekedar ngariung untuk berdiskusi membahas berbagai macam topik.
Kelompok ini terbentuk berkat pengembangan dari Perkumpulan Inisiatif, sebuah lembaga pengembangan kapasitas dan pendidikan kepemimpinan masyarakat yang berbasis di Kota Bandung. Sebagai salah satu asas pergerakannya, Institut Gunung Wayang diinisiasi sebagai wadah pengembangan kapasitas pemuda lokal. Selain berbagai kegiatan tersebut, terdapat sebuah kegiatan pendidikan yang pernah dilakukan beberapa waktu sebelumnya, yakni Sekolah Desa, yang pernah mengajarkan para pemuda disana tentang perencanaan tata ruang desa.
Segala cerita yang dihaturkan para tokoh yang kami temui, banyak membuat kami berdecak kagum. Salah satunya adalah Sekolah Desa tersebut. Saya pribadi merasa kecil dan kikuk berada di tengah-tengah mereka. Hampir 3 tahun saya mengenyam pendidikan planologi di kampus tercinta, tidak pernah terlintas pikiran soal membagi pengetahuan saya tentang tata ruang kepada pemuda disana (yang mudah-mudahan akan kami lakukan disana). Atau mungkin pernah — tapi saya tidak pernah benar-benar berpikir bahwa ternyata kegiatan semacam ini benar-benar dilakukan.
Yang membuat saya benar-benar berkontemplasi sampai tidak bisa tidur adalah, salah satunya tentang apakah untuk merencanakan tata ruang perlu perencana yang berkompetensi?
Melihat lingkup yang kecil, dalam hal ini “desa” atau bahkan hanya “dusun”, rasanya jika kita melakukan perhitungan seperti yang sudah kita lakukan di atas, maka entah berapa perencanan kompeten yang dibutuhkan untuk merencanakan tata ruang di seluruh “desa” atau “dusun” di negara ini. Mungkin jika pendidikan tinggi dan segala kebijakannya terus diarahkan untuk mencetak perencana sebanyak itu, jawabannya mungkin, tapi butuh waktu berapa lama?
Kita harus sama-sama sepakat bahwa desa berperan penting dalam konstelasi pembangunan yang lebih luas, misalnya dalam lingkup nasional. Desa memiliki posisi, potensi, dan peran yang penting dalam menggerakkan perekonomian wilayah dan nasional. Selain itu, jika kita bicara soal kearifan lokal (yang kadang diagung-agungkan), kita juga sama-sama sepakat bahwa ragam adat di Indonesia — setidaknya yang masih asli — bersemayam di balik kesederhanaan dan gaya hidup masyarakat desa.