09 November mendatang adalah tepat 101 tahun pasca lahirnya Republik Weimar, yang menandai awal demokrasi modern di Jerman. Konstitusi Weimar sangatlah demokratis.
Seni dan budaya Jerman juga berkembang pesat; media bebas beropini dan mengkritik pemerintah; warga bebas berpolitik. Tak ada yang meragukan Republik Weimar sebagai rezim yang sangat demokratis.
Sayangnya, eksperimen demokrasi itu berakhir tragis, seiring lahirnya the Fuhrer. Dengan Partai Nazi, Hittler melakukan genosida membabi buta.
Dengan ideologi fasisnya, Hitler juga menyatakan bangsa Jerman sebagai Ras Arya yang unggul, dan berhak menaklukkan bangsa-bangsa lain di dunia. Perang Dunia II pun pecah, menghasilkan kerusakan di seluruh dunia.
Pengalaman Republik Weimar ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh negara demokrasi, termasuk Indonesia saat ini.
1) Demokrasi Bukan Wacana, tapi Pertarungan
Para pendukung Republik Weimar mengira bahwa kebebasan dengan sendirinya akan mengokohkan demokrasi di Jerman. Dugaan itu salah, karena iklim kebebasan itu juga melahirkan Hittler yang gemar kampanye kebencian. Dan tragisnya, kampanye kebencian itu mendapat dukungan publik. Orasi Hittler yang berapi-api berhasil membius publik Jerman yang waktu itu baru belajar demokrasi.
Akhirnya, pada Pemilu 1932 Hittler meraih 36.8 persen suara, peringkat dua di bawah Hindenburg yang memenangkan kursi presiden Jerman di bawah Republik Weimar.
Namun tak lama kemudian, Hindenburg meninggal, dan Hittler pun mengambil alih kursi Presiden sekaligus merangkap kanselir. Selanjutnya bisa ditebak, pemerintahan teror pun melanda Jerman dan menjalar ke seluruh dunia, di bawah bayang-bayang Nazi dan Hittler.
2. Musuh Demokrasi Terorganisir
Pengalaman Hittler membajak Republik Weimar di atas menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah kebebasan semata, tapi juga pertarungan melawan musuh demokrasi. Di bawah Republik Weimar ini, Hitler sebagai musuh demokrasi melakukan aksi politik dengan sangat rapi dan terorganisir.