Kampanye akbar di Gelora Bung Karno, Sabtu kemarin (07/04), ternyata sepi kehadiran kader Partai Demokrat (PD). Agus Yudhoyono selaku pemegang komando pemengangan PD, tak hadir dalam hajatan itu. Bahkan, SBY selaku pimpinan tertinggi PD malah mengeluarkan surat terbuka yang isinya mengkritik format kampanye tersebut.
Dalam suratnya, SBY menilai hajatan yang kental politik identitas itu tak sejalan dengan filosofi kebangsaan Indonesia. Sebaliknya, pengentalan politik identitas yang dilakukan Prabowo justru memecah belah jalinan kebangsaan yang terbangun di Indonesia selama ini.
Pertanyaannya, kenapa SBY menulis surat terbuka untuk mengkritik kampanye akbar Prabowo? Padahal, kalau SBY mau kasih masukan, bisa melalui kritik tertutup. Menurut sumber internal, SBY sebelumnya sudah menyampaikan usulan itu secara tertutup. Sayangnya Prabowo sudah menutup telinga atas masukan itu.
Merasa masukannya tak digubris, SBY pun merasa geram, lalu menulis surat terbuka itu. Di balik penulisan surat terbuka itu, SBY ingin berpesan pada publik, bahwa dia memang tak pernah sepenuh hati mendukung Prabowo, yang nyatanya juga tak pernah sepenuh hati mengakodir suara Partai Demokrat.
Dalam surat terbuka itu, SBY juga menyebut bahwa calon yang gemar menggunakan politik identitas, sedari awal tak layak jadi pemimpin. Itu jelas ditujukan pada Prabowo, yang sejak lima tahun lalu gemar mengidentifikasi gerbongnya sebagai pembela islam. Dan sebaliknya, orang-orang Prabowo menuduh Jokowi sebagai keturunan PKI, membawa agenda komunisme, dan seterusnya.
SBY punya cukup alasan untuk mengkritik politik identitas itu, karena dia belajar banyak dari patron politiknya di Amerika. Bukan rahasia lagi, sedari awal, SBY memiliki kedekatan dengan Bill Clinton, yang waktu itu menjabat Presiden berkat pencalonan Partai Demokrat AS. Saking patronnya SBY pada Clinton, dia menamai partainya persis dengan partai Bill Clinton itu.
Sayangnya, pada Pemilu AS 2016 lalu, istri Bill Clinton, yaitu Hillary Clinton dikalahkan oleh Capres Partai Republik, Donald Trump. Trump memainkan politik identitas yang sangat kasar untuk memenangkan kursi Pilpres. Dia mengadu domba antara aliran feminis dan konservatif, mengadu domba imigran dan penduduk asli, kulit putih dan kulit hitam, dan seterusnya. Sudah pasti, SBY selaku orang dekat Clinton turut merasa geram dengan kemenangan Trump itu.
Sialnya, Prabowo selaku Capres yang diusung PD, juga menerapkan politik indentitas dan cara adu domba itu dalam kampanye Pilpres 2019 ini. Sedari awal, Gerindra melalui Fadli Zon bahkan terang-terangan menunjukkan dukungan dan kedekatannya dengan Donald Trump.
Bisa dibayangkan, betapa geram SBY melihat Capres yang didukung partainya itu bersekutu dengan musuh patron politiknya di Amerika. Setelah sekian lama menahan diri, tampaknya SBY tak mampu lagi menahan amarah. Lalu, dia pun meluapkan rasa geramnya dalam surat terbuka itu.
Jika kader PD cukup cerdas menangkap isyarat SBY, seharusnya mereka paham bahwa tak ada alasan untuk mendukung Prabowo. Dari garis partai, mereka seperti minyak dan air. SBY menganut garis Partai Demokrat, sementara Prabowo menganut garis Partai Republik. Sepanjang sejarahnya, kedua partai itu selalu bertentangan di AS.