Titiek Soeharto selaku penerus keluarga Cendana di dunia politik menyatakan, jika Prabowo menang maka Indonesia akan mengulang swasembada pangan Orde Baru (Orba). Pertanyaannya, benarkah Orba pernah swasembada pangan? Jika pernah, apakah swasembada model Orde Baru layak diterapkan kembali? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu tahu latar belakang dan capaian yang digembar-gemborkan sebagai swasembada pangan itu.
Sebagai awalan, perlu kita pahami bahwa Soeharto menduduki tahta Presiden setelah kudeta merangkak terhadap Presiden Sukarno, sembari memanfaatkan Hiperinflasi 1963-1965. Meski berhasil menguasai instrumen politik dan pemerintahan, Suharto belum aman. Kharisma dan kepemimpinan Bung Karno masih mengakar di seluruh lapisan, dari elit hingga akar rumput.
Satu-satunya cara Suharto memperkokoh hegemoni, yaitu menegasikan kondisi akhir pemerintahan Orde Lama. Hiperinflasi dan keterbatasan pangan harus dinegasikan, di mana Suharto dengan segala cara harus terlihat mampu mencukupi kebutuhan pangan. Di sinilah Suharto bersinggungan dengan agenda Global yang disponsori Ford and Rockefeller Foundation, yaitu Revolusi Hijau.
Pada intinya, Revolusi Hijau adalah program mengatasi suplai pangan dunia pasca Perang Dunia dan juga fenomena baby boom yang menggejala di mana-mana. Untuk itu, dilakukan berbagai penelitian terkait varietas baru, mekanisasi pertanian, pupuk dan obat-obatan kimia untuk mendongkrak panen. Program inilah yang disambut Suharto untuk mengatrol produksi pangan.
Sekilas program itu terkesan menguntungkan, namun metode dan produk Revolusi Hijau menyimpan potensi destruktif terhadap lingkungan. Teknik rekayasa dan intervensi Revolusi Hijau memang mampu mendongkrak produksi beras. Jumlah panen per musim meningkat berkali-kali lipat, dan masa tanam pun bisa diperpendek, sehingga dalam setahun petani bisa mengalami tiga kali panen.
Sayangnya, implementasi Revolusi Hijau mengalami overdosis bahan kimia, intervensi lingkungan di luar batas, serta rekayasa genetika berlebihan. Alhasil, capaian panen para petani Indoesia meningkat drastis pada 1984-1988, namun kembali merosot tajam pada tahun-tahun berikutnya.
Penggunaan pupuk kimia secara berlebih telah mendongkrak produksi tani, namun juga menguras sumber hara tanah. Secara bertahap, kesuburan tanah merosot dan tak lagi mendukung pertanian, meski sudah menggunakan pupuk. Di sisi lain, pestisida berlebihan membuat hama-hama tanaman kian resistens terhadap bahan kimia, sehingga makin sulit diberantas.
Tak heran pada akhir 1989 Indonesia kembali mengimpor beras, bahkan pada 1995 kembali melambung hingga 3 juta ton. Semua itu menegaskan bahwa swasembada di era Orde Baru tak lebih dari mitos semata. Swasembada itu hanya berlangsung 5 tahun, sementara efek kerusakan tanah dan kerusakan lingkungan yang disebabkan butuh puluhan tahun untuk normal kembali.
Tak hanya itu, penerapan revolusi hijau melalui panca usaha tani Orde Baru juga menyebabkan kemerosotan sosial tajam. Di awal penerapannya, para petani banyak mengajukan pinjaman untuk mengadakan pupuk, mesin, pestisida dan lain-lain. Pasca titik balik revolusi hijau, mereka terpaksa merelakan tanah untuk menebus hutang, dan tak sedikit yang berakhir menggelandang di perkotaan. Dan satu lagi, pemaksaan agar petani menenam varietas padi tertentu juga menyebabkan berbagai varietas padi lokal terancam punah.
Itulah fakta program Revolusi Hijau di era Suharto yang kerap dipropagandakan sebagai swasembada pangan itu. Faktanya, swasembada pangan itu lebih kental nuansa mitos daripada faktanya. Program itu tak lebih dari kongsi dagang antara pemerintah Suharto dengan korporasi global. Oya sebagai informasi tambahan, keluarga Rockefeller yang menjadi sponsor revolusi hijau itu juga pemilik PT Freeport McMoran yang sejak era awal Orde Baru mulai mengeruk kekayaan alam Papua. Jadi, kalian masih percaya Swasembada pangan Orde Baru? Yakin?
Naufal Pambudi