Banjir di daerah Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 26 Desember 2007 masih terbayang-bayang dalam ingatan warga masyarakat Bojonegoro. Menjelang akhir tahun warga Bojonegoro dilanda banjir yang berasal dari luapan air Bengawan Solo.
Banjir kali ini merupakan banjir terbesar sepanjang sejarah Bojonegoro yang menenggelamkan kurang lebih 16 kecamatan diantaranya Kec. Kasiman, Purwosari, Dander, Kapas, Balen, Kanor, Margomulyo, Ngraho, Tambakrejo, Padangan, Kalitidu, Malo, Trucuk, Bojonegoro, Baureno, Sumberjo.
Dapat diartikan bahwa separuh wilayah Bojonegoro terendam banjir. Bahkan warga di 8 desa Kota Bojonegoro tercatatberada dalam pengungsian sekitar 16.150, tersebar diberbagai pengungsian. Seperti posko-posko relawan, ruko, tanggul bengawan solo, dan rumah-rumah yang tidak terkena banjir.
Tidak hanya itu saja, banjir juga menelan korban nyawa sebanyak 4 orang akibat kesetrum listrik dan sakit. Banjir juga tidak pandang bulu. Pusat vital daerah Bojonegoro tidak luput dari terjangan banjir 3 meter tersebut.
Sawah, ternak, masjid, kantor pemerintahan, stasiun, terminal. Bahkan sekolah berhenti sejak 29 Desember 2007. Begitupun para pekerja, mereka tidak ada pemasukan. Pengungsi atau korban banjir mengandalkan bantuan yang tersedia dari pemerintah, swasta maupun tetangga lainnya.
Di sisi lain, terdapat kisah inspiratif dalam bencana banjir yang melanda Kabupaten Bojonegoro. Penulis yang juga sebagai korban bencana banjir merasakan ada sisi lain yang terdapat dari peristiwa banjir besar ini.
Penulis tinggal di daerah sekitar perumahan Kota Bojonegoro yang juga terendam banjir. Sebagian besar daerah perumahan mempunyai loteng atau rumah berlatai dua, jadi tidak terlalu repot-repot untuk mencari pengungsian. Akan tetapi masalah terus memburu di perumahan ini. perumahan yang sebagian besar adalah pekerja sibuk, tidak terlalu sering untuk memasak makanan sendiri.
Tidak sempat untuk membeli persediaan makanan di rumah. Menjadi masalah di perumahan ini, karena sudah sewajarnya manusia hidup harus makan dan minum. Apa lagi saat banjir lampu dalam keadaan mati dan toko tidak ada yang berjualan.
Suatu saat perumahan yang dulunya dikenal sebagai perumahan kuburan, karena begitu sepi, apalagi ketika malam tiba. Sontak menjadi berbeda. Orang-orang di perumahan keluar untuk saling menanyakan kabar, bercanda, dan saling bertukar berkeluh kesah mengenai banjir yang dilanda.
Kejadian ini menjadi kebalikan dari keadaan sebelumnya, ketika sebelum banjir, listrik masih menyala dan apapun tercukupi, orang-orang perumahan jarang sekali keluar dari rumah untuk bertegur sapa, bercanda, bertukar informasi, berbagi sesuatu yang mereka punya. Justru, ketika listrik mati dan makanan sulit di jumpai, masyarakat perumahan menjadi saling berinteraksi. Tak bisa dipungkiri ini menunjukkan sifat asli masyarakat Indonesia. Masyarakat kolektif yang saling bergantung satu sama lain.
Keluh kesah yang sama di perumahan ini seakan menjadi motivasi penggerak untuk membuat solusi bersama. Orang-orang perumahan yang sebagian besar tidak beranjak dari rumah karena bermukim di latai dua rumah, menginisiasi untuk membuat dapur umum. Mereka mengumpulkan makanan apa saja yang tersedia di rumah dan makanan bantuan dari siapapun.