Lihat ke Halaman Asli

Film Sultan Agung, Sebuah Film yang Lebih dari Sebuah Film

Diperbarui: 30 April 2021   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film yang disutradai oleh Hanung Bramantyo ini mendapat penghargaan Festival Film andung untuk Bioskop Terpuji, hingga mendapat gelar penghargaan dari internasional yakni mendapatkan penghargaan Special Prize di 4th International Film Festival Akbuzat Rusia, walau dalam kategori Director's Cut (bukan versi bioskopnya). Dari penilaian IMDB sendiri terbilang baik, ratingnya mencapai angka 7.1/10. Film Sultan Agung sendiri tentu lah bergenre fiksi sejarah yang terselip bumbu romansa klasik zaman kerajaan yang memberikan efek romansa dalam film ini. Film ini tentu juga memiliki pesan akan sarat makna kehidupan bagi penontonnya.

Film ini mengisahkan mengenai perjuangan Seorang Sultan pada kerajaan Mataram Islam yang ke-tiga, yang bernama Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (1593-1646). Film ini juga mengisahkan peristiwa bersejarah mengenai kedatangan VOC, serta prosesi diplomasi dan negosiasi perdagangan rempah antara kerajaan Mataram dengan Kongsi Dagang belanda tersebut. Dalam Film ini juga termuat nilai-nilai mengenai nasionalisme, patriotisme, hingga pandangan mengenai liberalisme. Tentu dengan pembawaan yang sangat menarik.

Yang sangat menarik juga adalah momen ketika Sultan Agung bernegosiasi dengan kompeni. Sultan, yang lebih mementingkan nasionalismenya serta kedaulatan atas kerajaannya mendiskusikan atas perencanaan kompeni untuk merealisasi kerjasama perdagangan rempah-rempah. Mengingat akan berita kekacauan yang ditimbulkan kompeni pada kerajaaan lainnya, maka sultan Agung bersifat tegas dan sangat mencintai kerajaannya. 

Di sisi lain, Penasihat kerajaannya, justru lebih mementingkan pendekatan kerjasama tersebut sebagai pembukaan relasi antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Belanda, yang tentunya pendapat tersebut ditolak, walau demikian Mataram tetap melakukan kerja sama namun dengan sangat hati-hati. 

Saat adegan petempuran Antara Mataram dengan Kompeni pun diceritakan sangat detil. Mulai dari adegan kematian Jan Pieterzooen Coen, akibat dari strategi perusakan sumber air kompeni di Batavia, hingga kekalahan Sultan, yang dapat disebabkan oleh beberapa pengkhianatan. 

Di adegan tersebut Sultan kembali dihadapkan hal yang sangat dilematis antara memilih untuk melanjutkan perlawanan demi kemenangan dan unjuk gigi mengenai kekuatan kerajaan nusantara serta menjadi pembuktian bahwa kerajaan nusantara tidak sepayah dan selemah yang dianggap kompeni, atau memilih untuk mundur. Sehingga dalam Film ini diceritakan bahwa kekalahan tersebut akibat dari pengkhianatan beberapa pasukan dengan alasan perang membawa kesengsaraan bagi rakyat. Tentu dalam sejarah, sultan Agung mengalami kegagalan, namun berhasil menyabotase salah satu sumber perairan Batavia, yakni sunga Ciliwung. Kembali dengan alasan para pengkhianat, penggambaran karakter para pengkhianat ini sangat sesuai dimana mereka memiliki landasan dalam pengkhianatan yang mereka lakukan, disatu sisi dapat dibenarkan walau, dalam jangka panjang merugikan negaranya. Tentu hal yang bijak dilakukan sultan adalah untuk menghukum pengkhianat, hal ini sejalan dengan ketegasan seorang pemimpin negara mengenai hukum yang berlaku. Sebenarnya adegan ini seperti ketika kita menonton seri drama korea yang Berjudul " The Great Queen Seondeok", dimana ratu harus memilih antara menghukum mati orang yang selama ini mendukungnya, namun karena suatu hal dan adanya kesalahpahaman penerimaan informasi, orang tersebut akhirnya melakukan kudeta, sehingga terjeratlah ia pasal pengkhianatan. Namun di sisi lain jika ia memberikan amnesti, maka otoritas nya sebagai raja dipertanyakan sekaligus kepercayaan pendukungnya dapat memudar. Maka hal serupa juga dialami Sultan.

Selain itu Konsep mengenai Nasionalisme, serta rasa patriotik yang tertanam pada Sultan dalam penggambaran tokoh tersebut sangat kental antara cara pendidikan orang tua Sultan Agung sendiri, hingga pengalamannya mulai dari mendapatkan informasi mengenai kompeni, hingga cara berdiplomasi yang sangat baik dimasanya. Tentu walau konsep nasionalismenya hanya sebatas pada kerajaannya, karena memang pada waktu itu belum ada pakta persatuan antara kerajaan di Nusantara. Sifat Nasionalisnya inilah yang salah satunya dapat mengilhami mengenai konsep nasionalisme kontemporer serta bagaimana mengenai keamanan kedaulatan negara. Semangat nasionalisnya inilah yang menjadi pendobrak akan anggapan superioritas Kompeni dalam kaca mata Bumi Putera. Terlebih pasca kematian J.P.Coen. Setelah itu mengenai Penasihat kerajaan tersebut yang lebih mementingkan kerja sama dan pembukaan hubungan bilateral antara kerajaan Matara dengan Kerajaan Belanda, tentu di refleksikan pada pandangan Hubungan Internasional klasik. Ialah pandangan Liberalis, dimana suatu negara akan bekerja sama demi memeuhi keuntungan dan kebutuhan bersama. Hal ini dapat menjadi pembuka bahwa pemikiran liberalis dalam Film ini sebenarnya hadir jau tempo hari. Dan jika dilihat sejarah pun, kerajaan Nusantara bersepakat untuk bekerja sama dalam perdagangan komoditas rempah, karena adanya rasa percaya mengenai mitra dagangnya yang memiliki tujuan untuk memenuhi keuntungan bersama, walau dalam kelanjutannya banyak intrik politik yang dimanfaatkan kompeni dalam menguasai jalur rempah Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline