Dalam kalangan umat Muslim sendiri sudah tidak asing dengan Aliran Kelompok bernama Mu'tazilah. Walaupun di masa sekarang tidak ada lagi kelompok yang menyebut diri mereka dengan Mu'tazilah secara langsung tentu masih ada beberapa orang yang menggunakan sedikit dari hasil pemikirannya. Secara harfiah, kata Mu'tazilah ini berasal dari I'tazilah yang artinya menjauh atau memisahkan diri.
Awal kemunculannya berada di Basrah (Iraq) pada masa kekhalifahan Umayyah. Ada dua faktor yang menjadi alasan kenapa Mu'tazilah bisa muncul di masyarakat. Pertama, mereka yang tidak mengikuti konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah alias bersikap netral ini disebut sebagai Mu'tazilah. Kedua, munculnya respon teologi terhadap Murji'ah dan Khawarij yang mempunyai perbedaan pendapat dalam memaknai seseorang yang melakukan dosa besar.
Jika Murji'ah masih menganggap orang yang berdosa besar sebagai mukmin dan Khawarij telah mengkafirkan siapapun yang telah berbuat dosa besar. Mu'tazilah dengan pendapatnya yakin untuk menempatkan Muslim yang berdosa besar terhadap kedudukan diantara mukmin dan kafir (bainal manzilatain) jadi, mereka (berbuat dosa besar) tidak bisa disebut mukmin begitu pula kafir.
Hal ini bermula ketika Wasil bin Atha' yang bersebrangan pendapat dengan Hasan al-Bashri di sebuah majelis/halaqah yang diadakan di Masjid Bashra. Hasan al-Bashri yang mendengar pemikirannya mengenai pelaku dosa besar pun mengusir Wasil dan temannya Amr bin Ubaid dengan mengatakan "I'tazala 'Anna". Lalu Wasil dan Amr pun berdiri memisahkan diri keluar dari majelis Hasan al-Bashri. Oleh karena itu, mereka dinamakan sebagai kelompok Mu'tazilah yang artinya memisahkan diri.
Julukan Mu'tazilah ini tentu berasal dari luar berdasarkan peristiwa di atas. Mereka sendiri lebih suka menjuluki kelompoknya dengan "Ahlu al-'adli wa al-tauhid" atau golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Tuhan. Namun, bukan berarti mereka tidak setuju dengan panggilan Mu'tazilah. Mereka menemukan kata I'tazala dalam al-Qur'an yang artinya menjauhkan diri dari sesuatu yang salah. Berkaca dari ayat al-Qur'an tersebut mereka tidak keberatan menyandang nama Mu'tazilah bagi kelompoknya.
Dalam politik, Mu'tazilah tidak begitu menonjol yakni di masa Wasil bin Atha' pada abad ke 2 H (105-110 H) ketika pemerintahan dipegang oleh Umayyah. Para penganut Mu'tazilah memegang dengan teguh lima akidahnya yaitu (1)Tauhid, (2)Keadilan Allah, (3)Janji dan Ancaman, (4)Satu tingkat kedudukan antara kafir dan mukmin, (5)Amar ma'ruf nahi munkar. Di masa-masa ini mereka hidup dengan damai dan tetap eksis di masyarakat karena tidak menunjukkan sikap ektrem pada pemerintahan.
Berlanjut ke masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah ke-5) yang mendirikan pusat ilmu pengetahuan di kota Alexandria. Pemikiran Yunani mulai menulari para intelektual Muslim sehingga menjadikan ajaran Islam dan logika Yunani saling bercampur, di sisi lain Mu'tazilah pun sedang lagi naik daun. Dan tampak pula di ujung pemerintahan Umayyah teologi rasional Mu'tazilah akhirnya tercipta dan berkembang sampai ke kekhalifahan Abbasiyah.
Di waktu kepemimpinan Bani Abbasiyah Mu'tazilah mulai merambat ke pemerintahan. Awalnya mereka hanya menggunakan filsafat sebagai alat untuk berdebat melawan orang non-muslim yang berusaha untuk menyerang dasar-dasar Islam. Sampai lambat laun, mereka disebut kaum rasionalis muslim karena terlalu mengandalkan logika filsafat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Abbasiyah kala itu pun sangat menggandrungi ilmu pengetahuan dan menjadi pusat peradaban di zamannya.
Maka tidak heran aliran yang juga sama-sama mencintai ilmu pengetahuan dan logika ini bisa mendapatkan tempat yang begitu istimewa. Pada pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid misalnya, kaum ini kebanyakan terpilih menjadi penasihat dan pendidik putra-putri Khalifah. Sampai khalifah di masa depan yakni Al-Makmun bergabung menjadi seorang penganut Mu'tazilah. Di sinilah masa kejayaan aliran ini, apalagi Khalifah Al-Makmun menggunakan kekuasaannya untuk mengajak seluruh rakyatnya ikut dalam Mu'tazilah.
Mereka mengadakan Mihnah yaitu pengujian keyakinan terhadap para pejabat dan ulama tentang kemakhlukan al-Quran. Barangsiapa yang tidak menyakininya maka akan diturunkan dari jabatannya dan dihukum. Hukuman paling berat terjadi pada masa pemerintahan al-Mu'tashim yakni kematian dan cambuk. Mihnah ini pun berlangsung cukup lama dan berhenti pada kekhalifahan al-Mutawakkil karena Ia bukan seorang penganut Mu'tazilah. Di saat yang sama banyak muncul pemberontakan yang merupakan ekspresi paksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah. Para tokoh Mu'tazilah banyak yang jadi korban sekaligus menandai redupnya aliran tersebut. Sampai di masa pemerintahan Buwaihi. Mu'tazilah masih ada namun hanya dianut oleh perorangan saja.
Para Rasionalis Islam ini menggunakan logika murni dan ilmu filsafat supaya tidak bertentangan dengan nash al-Quran. Dan jika ada yang bertentangan maka akan mereka takwilkan agar bisa selaras. Contohnya adalah peristiwa Isra' Mi'raj, Mu'tazilah tidak percaya akan peristiwa Mi'raj (Nabi naik ke langit) dan hanya mempercayai Isra' (perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis). Hal ini dikarenakan perjalanan Isra' masuk akal menurut mereka sedangkan Mi'raj tidak.