Selama 3,5 abad Belanda telah menjajah dan menguras dengan hebat kekayaan bangsa kita. Tetapi, benar kata pepatah bahwa tidak semua orang itu jahat. Begitu pula dengan orang-orang Belanda, tentu ada beberapa dari mereka yang baik.
Turut serta peduli dan mengecam akan penindasan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri terhadap Indonesia. Mungkin karena niat baik itulah sebuah kebijakan dan wacana baik bisa terlahir dari para penjajah terhadap kita setelah melalui ratusan tahun pembodohan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, lewat takdir ini lah para pemikir bangsa bisa terlahir dan ikut berjuang dengan jalur diplomasi untuk kemerdekaan bangsa.
Ya benar, itulah POLITIK ETIS.
Dalam KBBI dikatakan bahwa Politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Sedangkan, Etis merupakan sesuatu yang sesuai dengan asas perilaku yang telah disepakati secara umum. Jadi bisa diartikan Politik Etis adalah segala urusan dan tindakan mengenai pemerintah negara atau terhadap negara lain yang sesuai dengan asas perilaku yang sudah disepakati secara umum.
Setelah era kebijakan tanah paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1844), Belanda mulai menunjukkan belas kasihan dan perhatiannya terhadap negara jajahannya satu ini. Secara resmi politik haluan utama baru ini atau disebut dengan ethische politic terjadi pada abad ke-20. Lebih tepatnya saat Ratu Wilhelmina (1962) menyampaikan pidato tahunannya di bulan September 1901. Dia mengatakan yang pada intinya sebagai Negara Kristen yang bermartabat, Hindia Belanda (Indonesia) berhak untuk mendapatkan perhatian dan bantuan untuk berkembang dengan adanya kebijakan baru bernama Politik Etis.
Oleh karena itu, kebijakan ini juga biasa disebut sebagai Politik Balas Budi karena memang pada awalnya Belanda bermaksud untuk memberikan sesuatu kepada bangsa ini. Setelah era penjajahan selama ratusan tahun serta pengeksploitasian secara tidak manusiawi. Namun sebelum itu, sudah banyak suara dari Belanda yaitu partai Demokrat dan Liberal yang membahas tentang ketidakadilan luar biasa yang dialami oleh para pribumi Hindia Belanda. Hal ini terjadi saat novel Max Haveelar (1860) telah tersebar di berbagai kalangan pada saat itu.
Pencetus dari sistem ini adalah seorang pengacara dan ahli hukum Belanda bernama lengkap Conrad Theodore (Coen) van Deventer. Dia mencetuskan sebuah trilogi politik etis diantaranya adalah Migrasi, Irigrasi, dan Edukasi. Sebelum sistem ini dibuat Van deventer bersama G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan D. Fock yang sama-sama mendukung gagasan ini pergi ke Jawa untuk melakukan riset yang berhubungan akan seberapa mundurnya peradaban di Hindia Belanda.
Ikhtisar keadaan yang dibuat oleh mereka akhirnya dikirim ke Belanda dan mendapat balasan dari kaum Liberal dan Demokrat Radikal. Mereka lebih tertarik kepada pengairan atau Irigrasi, kredit pertanian dan emigrasi. Di tahun-tahun sebelumnya pada abad-19 ada beberapa tokoh Belanda yang mulai menunjukkan kepeduliannya terhadap perkembangan Hindia Belanda ini. Diantaranya adalah K.E Holle yang membantu pertanian orang-orang Sunda, C. Snouck Horgounje (1936) yang memberikan konsep tentang pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk terhadap pribumi. Lalu ada W.P.D Woff Van Westercode yang telah meletakkan dasar pengorganisasian bank kredit untuk simpan pinjam dan perlindungan tehadap utang.
Walaupun memang terlihat berkilau rencana dan tujuan politik etis dari luar. Sebenarnya ada maksud selain mengembangkan Hindia Belanda ini. Tidak lain karena mereka takut akan kritik dan perlawanan yang bisa saja muncul jika penindasan dilakukan terus-menerus pada pribumi seperti sebelumnya. Memang ada baik dan buruknya. Tetapi perihal buruknya tidak selalu dari Belanda melainkan para pribumi yang diberi kewenangan oleh Belanda. Mereka terkadang semena-mena dan lupa akan asal-usulnya sehingga lebih berpihak pada para penajajah.
Penyiksaan memang masih terjadi di era Politik Etis ini akibat pengawasan yang tidak merata. Namun, tetap saja akses pendidikan para pribumi ini berhasil melahirkan pendekar diplomasi bangsa seperti M. Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, dan masih banyak para pahlawan lain yang dididik oleh kurikulum politik etis, kurikulum Belanda.