Kasus pembunuhan tragis di Cilandak, di mana seorang remaja berusia 14 tahun membunuh ayah dan neneknya serta melukai ibunya, telah mengundang perhatian publik terhadap perlakuan hukum bagi anak di bawah umur. Pelaku yang masih di bawah umur menghadirkan dilema besar, lantas bagaimana memastikan keadilan sekaligus memberikan kesempatan rehabilitasi?
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjelaskan bahwa pelaku di bawah umur akan mendapatkan perlindungan khusus dan Safe house atau rumah aman sering disebut sebagai solusi. Konsep ini menawarkan lingkungan yang aman bagi anak pelaku untuk merenungkan perbuatannya tanpa tekanan penjara. Namun, efektivitasnya tergantung pada bagaimana fasilitas tersebut dikelola. Apakah program yang diberikan benar-benar mampu mengubah perilaku anak, atau hanya menjadi tempat penitipan tanpa pemulihan?
Dalam kasus Cilandak, faktor yang mendorong tindakan pelaku patut dipertimbangkan. Anak mungkin menghadapi konflik keluarga yang kompleks, tekanan emosional, atau masalah psikologis yang tidak terdeteksi sebelumnya. Oleh karena itu, safe house seharusnya menyediakan layanan psikologis intensif, pendidikan karakter, dan terapi yang fokus pada pemulihan anak.
Namun, konsep ini tidak bebas kritik. Kelemahan dalam manajemen, seperti kurangnya tenaga ahli dan program rehabilitasi yang konkret, dapat membuat tujuan safe house meleset. Jika hanya berfungsi sebagai tempat isolasi, anak pelaku tetap akan menghadapi stigma ketika kembali ke masyarakat.
Dukungan keluarga dan masyarakat menjadi elemen penting dalam keberhasilan rehabilitasi. Trauma yang dialami keluarga korban maupun pelaku memerlukan penanganan serius. Aparat juga perlu memastikan bahwa proses hukum terhadap pelaku anak tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga membangun kembali masa depan mereka.
Pendidikan berbasis karakter di sekolah juga penting. Anak-anak perlu diajarkan keterampilan emosional, empati, dan penyelesaian konflik sejak dini untuk mencegah tindakan serupa. Kurikulum yang relevan dapat membangun generasi yang lebih sadar akan dampak tindakan mereka terhadap orang lain.
Safe house memang dapat menjadi solusi, tetapi keberhasilannya membutuhkan pendekatan holistik. Program rehabilitasi harus mencakup pendidikan, terapi psikologis, dan pelatihan keterampilan untuk memberikan kesempatan nyata bagi anak untuk berubah. Dengan begitu, kita tidak hanya memberikan keadilan, tetapi juga harapan bagi masa depan anak-anak yang pernah tersesat.
Kasus Cilandak menjadi pengingat bahwa penanganan anak pelaku kejahatan memerlukan keseimbangan antara keadilan, perlindungan, dan rehabilitasi. Dalam proses ini, kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat sangatlah penting. Jika dikelola dengan tepat, safe house bukan hanya menjadi solusi, tetapi juga simbol harapan bagi anak-anak yang membutuhkan kesempatan kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H