Lihat ke Halaman Asli

Naufal Al Zahra

Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Natsir, 3 April, dan Refleksi Historiografi Kita

Diperbarui: 3 April 2022   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Mohammad Natsir, pemimpin Islam Indonesia dan Partai Masjumi yang terkemuka. (Sumber gambar: Twitter/@mazzini_gsp)

Beberapa tahun yang lalu, sejumlah pihak  mengusulkan agar 3 April ditetapkan sebagai hari peringatan nasional. Dilansir dari sejumlah laman berita, beberapa tokoh nasional seperti Dr. Hidayat Nur Wahid, Prof. Jimly Asshidiqie, Dr. Adian Husaini juga MUI, menyatakan pentingnya menjadikan hari ke-3 dalam bulan April sebagai hari NKRI. Lantas, sesungguhnya apa kaitannya tanggal 3 April dengan wacana hari NKRI itu?

Tepat 72 tahun silam, dalam sebuah forum sidang Parlemen RIS, seorang tokoh berpidato seraya mengeluarkan sebuah mosi  yang amat menentukan takdir negeri tercinta ini. Mosi tersebut ia nyatakan manakala Indonesia sedang mengalami ketidakstabilan sebagai akibat daripada pembentukan RIS.

Republik Indonesia Serikat (RIS) sendiri merupakan sebuah institusi federasi yang dibentuk sebagai jalan kompromi antara delegasi Republik Indonesia dengan Belanda dalam perhelatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Realisasi pembentukan RIS diselenggarakan pada 27 Desember 1949 di Den Haag dan Jakarta.

RIS Tak Direstui

Semenjak RIS didirikan, wilayah Indonesia terbagi menjadi beberapa negara bagian. Wahyudi Djaja dalam buku RIS Republik Indonesia Serikat (2008) menerangkan:

"Menurut pasal 2 Konstitusi RIS tahun 1949, Republik Indonesia Serikat terdiri atas 7 negara, 9 satuan kenegaraan, dan daerah yang bukan kekuasaan."

Dari enam belas negara yang dinyatakan sebagai bagian dari RIS, Republik Indonesia termasuk menjadi salah satu negara bagiannya dengan ibukota di Yogyakarta.

Tatkala RIS resmi didirikan, Sukarno dan Hatta yang sebelumnya menjadi Presiden dan Wakil Presisen RI dipercaya untuk menduduki jabatan baru di RIS. Sukarno didaulat sebagai Presiden RIS dan Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Sedangkan, dua posisi yang ditinggalkan mereka digantikan oleh  Mr. Assaat dan dr. Abdul Halim.

Tak sampai berusia satu tahun, eksistensi RIS mendapatkan reaksi yang kurang positif dari sejumlah elit dan sebagian besar rakyat di negara-negara bagian. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2016) menyatakan:

"Ada sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda itu, sentimen yang telah menjadi semakin kuat dengan dibebaskannya 12.000 orang tawanan Republik dari penjara-penjara Belanda antara bulan Agustus dan Desember 1949."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline