Beberapa waktu yang lalu, publik cukup dihebohkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdurachman. Kehebohan tersebut dipicu oleh ucapan Sang Jenderal yang mengatakan bahwa dalam berdoa, cukuplah menggunakan bahasa Indonesia karena Tuhan bukanlah orang Arab.
Seusai pernyataan itu mengemuka kepada publik, sejumlah tokoh tampil merespon ucapan Jenderal Dudung. Beberapa tokoh yang tampak merespon pernyataan KSAD itu di antaranya adalah Imam Shamsi Ali, Habib Abubakar Assegaf, dan Felix Siauw.
Sekaitannya dengan bahasa Arab, seorang tokoh Islam Indonesia yang terkemuka dan dihormati, M. Natsir (1908-1993) pernah menuliskan pandangannya mengenai bahasa yang kerap kali dikaitkan sebagai bahasa-nya ajaran Islam ini. Ajip Rosidi dalam M. Natsir Sebuah Biografi (1990) mengisahkan manakala Natsir membantah Dr. G. Drewes, seorang cendekiawan Belanda, yang menyatakan bahwa bahasa Belanda dapat mengantarkan kaum bumiputra untuk mencapai taraf kemajuan dan kemerdekaan berpikir.
Natsir membantah pernyataan Dr. Drewes itu melalui artikel berjudul "Bahasa Asing Sebagai Alat Pencerdasan Pembuluh Kebudayaan Indonesia" yang diterbitkan dalam Majalah Pandji Islam edisi November 1940
Sebelum mengemukakan pandangannya tentang bahasa Arab, Natsir terlebih dahulu menyatakan urgensi daripada mempertahankan bahasa Ibu sendiri. Sembari mengutip pernyataan L. Weisgeber dalam buku Muttersprache und Geistersbildung (1920), Natsir menyatakan bahwa menjaga bahasa sendiri maknanya sama dengan menjaga sifat-sifat dan kebudayaan sendiri.
Dalam pertengahan artikelnya, Natsir menerangkan pandangannya mengenai bahasa Arab.
"Bahasa Arab itu bukanlah bahasa agama semata-semata, bukan suatu dialek, bukan bahasa salah satu propinsi. Akan tetapi satu bahasa dunia, satu bahasa kebudayaan, satu bahasa pemangku kecerdasan....", tulisnya.
Natsir kemudian meneruskan, bahwa di samping menjadi bahasa yang memersatukan umat Islam di seluruh dunia. Bahasa Arab merupakan bahasa yang berkontribusi besar bagi kemajuan umat manusia. Oleh karena, ia telah mampu memainkan peranan penting di atas panggung peradaban manusia.
"Bahasa Arab selain daripada satu-satunya bahasa pengikat, bahasa persatuan bagi kaum Muslimin, adalah juga satu bahasa kebudayaan yang utama, yang barangkali Yunani dan Sangsekerta. Malah tulisan Yunani sudah kenyataan gagal dan kekurangan dalam menuliskan angka-angka sehingga ilmu hisab, ilmu hitung baharulah mendapat kemauan setelah mengambil sistem angka-angka Arab sebagaimana yang kita pakai sekarang ini."
Natsir juga mengungkapkan fakta sejarah bahwa dahulu, bahasa Arab adalah bahasa yang masyhur digunakan para filsuf dalam mengutarakan pelbagai kecemerlangan gagasannya. Menurut Natsir, "Bahasa Arab telah menjadi bahasa falsafah bagi filosof-filosof pengutarakan bermacam teori dan dalil-dalil hipotesa yang sulit-rumit".
Menjelang akhir tulisannya, Natsir secara terus terang menyatakan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang berperan sebagai alat pencerdasan kaum bumiputra yang telah ada sejak ratusan tahun silam, lebih murah karena sudah ada jauh sebelum Penjajah Belanda mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, dan tidak kalah manfaatnya dari bahasa asing lainnya.