Lihat ke Halaman Asli

Naufal Al Zahra

Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Kondisi Kesehatan Si Bung Besar Menjelang Berpulang

Diperbarui: 17 Maret 2021   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Sukarno di masa tua yang menderita sakit ginjalinstagram.com/presidensukarno

Bung Besar tak lagi seperkasa dahulu, keriput di wajahnya menandakan usianya sudah tak lagi muda. Di masa tuanya ia merasakan kesepian yang amat mendalam, Sang Ibu Negara pertama tercinta tak sudi lagi menemaninya. Sementara, kawan-kawan seperjuangannya satu per satu meninggalkan dirinya, baik karena telah berpulang keharibaan-Nya maupun karena kebijakan politik yang diberlakukannya sewaktu dahulu menjabat sebagai presiden.

Titik nadir Bung Karno bermula ketika para pengincar kedudukan melancarkan pelbagai skenario muslihat untuk melengserkan posisi Bung Besar dari kursi kepresidenan. 

Dimulai sejak keluarnya Supersemar hingga yang paling jelas ialah dengan terbitnya TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Semua ini terjadi sebagai imbas dari insiden malam yang memilukan yaitu Tragedi 1965.

Kekuasaan dan harapan Bung Besar benar-benar sirna. Hak-hak yang semestinya ia peroleh sebagai tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan bangsa, tak dapat ia rasakan di saat usianya tak lagi muda.

Fase hidup menyedihkan Bung Karno dimulai pada 1967 ketika ia menjalani hari di Paviliun Istana Bogor sebagai tahanan politik bersama dengan Hartini, istri yang setia merawatnya serta dua orang anaknya, Taufan dan Bayu.

Sebagai tahanan politik, hampir seluruh kebebasan Bung Karno termasuk dalam hal mobilitas sangat diawasi dengan ketat oleh aparat waktu itu. Hal ini tergambarkan ketika Pangdam V/Jayakarta, Mayjen Amir Machmud mengeluarkan surat yang isinya melarang Bung Besar masuk ke DKI Jakarta.

"...menyusul larangan yang juga datang dari Mayor Jenderal Amir Machmud, Panglima Kodam V/Jayakarta selaku Penguasa Pelaksana Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya. Isinya lebih tegas lagi, yaitu Sukarno tidak boleh masuk ke wilayah Daerah Khusus Ibukota dalam hal ini Jakarta." tulis Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno.

Kondisi di atas terjadi tatkala sebelumnya Pangdam VI/Siliwangi Mayjen H.R Dharsono mengeluarkan SK bertitimangsa 13 Agustus 1967 yang bertujuan membatasi mobilitas Bung Besar. Sewaktu di Istana Bogor, Bung Besar diketahui sering berpergian ke sana kemari. Sehingga, untuk mempertegas surat keputusan dari Pangdam Siliwangi itu, diterbitkanlah surat keputusan dari Pangdam Jayakarta yang isinya seperti di atas.

Hal yang tak kalah menyedihkan dalam detik-detik terakhir hidup Bung Besar ialah tatkala kondisi kesehatannya yang semakin buruk di saat usia senja dan setelah kekuasaannya diambil secara hina.

Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno menjelaskan, "Menurut berkas catatan medis Sukarno 29 Oktober 1966 yang dibuat oleh dokter pribadinya, dr. Soeharto, Sukarno mulai memiliki penyakit kompleks yang memerlukan penanganan serius".

Penyakit yang paling menyiksa Bung Besar ialah penyakit yang menyerang ginjalnya. Ia diharuskan diet dari protein dan garam. Selain itu, terjadi penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan gejala gagal jantung yang turut mencabik-cabik kondisi kesehatannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline