Oleh : Naufal Cahaya Pangestu
Muhammad Husseyn
M. Maulana Safrudin
Perkawinan merupakan suatu hal atau momentum yang sakral, yang hampir setiap orang mengalaminya. Perkawinan bukan hanya sebuah ikatan janji suci mempersatukan antara laki-laki dan perempuan. Melainkan juga mengikat janji suci kepada Allah Swt. Bahwa dalam perkawinan banyak hal yang nantinya diimpikan, seperti terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah juga keharmonisan dan ketentraman didalam rumah tangga tersebut. Untuk mencapai cita-cita seperti itu maka, Pernikahan tidak hanya bersandar kepada Al-Qur'an dan Hadits saja yangmana lebih bersifat global. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum yang mengatur mengenai pernikahan tersebut, yang berkaitan dan cocok dengan keadaan dan situasi di suatu wilayah tersebut. Di negara kita pernikahan dikatakan sah apabila telah sesuai dengan ketentuan agama dan negara.
Perkawinan merupakan suatu akad(perjanjian) yang mana dengan akad tersebut menjadikan halal antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan badan, juga saling menolong dan masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus terpenuhi sesuai syariat. Dari definisi tadi bisa disimpulkan bahwasannya pernikahan tidak hanya pada masalah biologis semata, akan tetapi juga diliputi adanya suatu kewajiban untuk mengimplementasikan tujuan dan cita-cita bersama.
Di dalam UU No.1 Tahun 1974 ada beberapa prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:
- 1. Azas Sukarela
- Sesuai dengan cita-cita awal dalam sebuah perkawinan yakni, terciptanya suatu hubungan rumah tangga yang kekal dan abadi bahagia juga didalamnya ada keharmonisan dan rasa kasih sayang, maka didalam awal sebuah perkawinan harus ada persetujuan mau sama mau, suka sama suka antara kedua belah pihak tidak ada suatu keterpaksaan diantaranya (sukarela). Dalam hal ini didasarkan atas (Pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974).
- 2. Asas Partisipasi Keluarga
- Pada prinsipnya anak yang sudah cukup umur atau telah mencapai batas diperbolehkan menikah. Dia akan memilih seseorang untuk dijadikan pendamping hidupnya. Akan tetapi, dikarenakan perkawinan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kacamata kehidupan dan agama, maka perlu adanya partisipasi keluarga baik dari ayah atau ibu untuk merestui akan perkawinan tersebut. Jadi, restu orang tua tidak bisa dipandang remeh dalam hal ini, sebelum melakukan perkawinan hendaknya meminta restu izin kepada orang tua terlebih dahulu, dikarenakan juga ridho Allah terletak pada ridho orang tua.
- 3. Perceraian dipersulit
- Salah satu hal yang dibenci oleh Allah adalah perceraian meskipun hal ini juga diperbolehkan. Disebabkan juga akibat perceraian dampak yang dirasakan oleh anak anaknya. Yang mana kebanyakan dari mereka kurang mendapatkan kasih sayang yang di dapatkan dari ayah maupun ibu. Tidak sedikit anak korban perceraian yang mengalami trauma dan juga terkadang sampai terserang psikisnya. Dalam masa pertumbuhan si anak sendiri dapat menjadikan kenakalan yang dikarenakan kedua orang tuanya berpisah/cerai. Maka dari itu undang-undang mengatur dan menentukan bahwa untuk terjadinya perceraian harus disertai alas an-alasan tertentu yang tidak memungkinkan untuk dilanjutukannya suatu hubungan serta harus dilakukan dimeja sidang pengadilan (Pasal 39-40 UU No.1 tahun 1974 dan Pasal 115-116 KHI)
- 4. Poligami dibatasi secara ketat
- Sesuai asaz monogomi yang tertuang didalam UU No.1 tahun 1974, yang mana apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk berpoligami sesuai dengan hukum dan agama yang bersangkutan dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Dengan beberapa persyaratan yang sangat sulit bagi orang yang melakukan poligami (Pasal 4 dan 5 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 55-59 KHI)
- 5. Kematangan calon mempelai
- Kesehatan jasmani dan rohani aspek penting yang perlu diperhatikan ketika hendak melangsungkan perkawinan. Sesuai dengan cita-cita yang luhur dalam suatu perkawinan yakni mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Banyak kasus terjadinya bayi lahir yang kurang sehat bahkan terkena beberapa penyakit seperti autis, hal seperti ini yang efek atau dampak kurang memperhatikannya Kesehatan jasmani dan rohani.
- 6. Memperbaiki derajat wanita
- Aspek ini bermaksud untuk menjunjung tinggi drajat kaum wanita. Baik dalam hal harta, kewajiban dll. Dalam hal ini suami harus memperlakukan istri dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada, jadi tidak semena-mena terhadap istrinya. Dengan kata lain disini si suami lebih mengayomi dan memberikan perlindungan terhadap sang istri.
- 7. Asas pencatatan perkawinan
- Hal tidak kalah penting dalam aspek yang perlu diperhatikan dalam prinsip perkawinan adalah pencatatan perkawinan. Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sesuai dengan undang-undang. Pencatatan perkawinan jika beragama islam di KUA, jika yang bukan beragama islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada kantor catatan sipil.
- Dari prinsip-prinsip yang ada di atas dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dibina berdasarkan prinsip yang ada akan terwujud sebuah rumah tangga atau keluarga yang kuat dan Bahagia sesuai dengan tujuan perkawinan yang sesungguhnya, sehingga terbentuklah masyarakat keluarga yang nyaman dan sejahtera sebagaimana yang diharapkan oleh agama dan perundang-undangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H