Saya ingat, sebuah masa dimana saya masih duduk di bangku kuliah. Saya belajar banyak secara teori mengenai konsep negara hukum. Filsuf ternama seperti Plato dan Aristoteles didapuk sebagai penggagas pertama konsep ini. Sepaham saya, Aristoteles berpendapat jika sebuah negara hukum adalah sebuah negara yang dipimpin oleh keadilan serta kesusilaan dalam rangka menentukan baik atau buruknya hukum, bukan manusia.
Hukum itulah yang kelak akan menjadi konstitusi atau pedoman sebuah negara. Konsep negara hukum ini memang sejatinya cocok dengan Indonesia yang menganut tradisi civil law, yaitu sebuah paham dimana patuh hukum harus berdasarkan hukum tertulis, meskipun pada kenyataannya civil law di Indonesia tidak lagi murni.
Iya. Lagi lagi perihal keadilan... kesusilaan.. yang kini makna dan batasannya kian tipis antar kepala satu dan kepala lainnya. Saya sempat me-review dimana Sri Soemantri dalam Buku Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia mengemukakan unsur-unsur terpenting Negara hukum yaitu:
- Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan;
- Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga Negara);
- Adanya pembagian kekuasaan;
- Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle)
Keempat poin ini mungkin dimaksudkan Sri Soemantri untuk mengakomodir cita raih keadilan dan kesusilaan yang digagas Aristoteles. Hemat saya, secara teoritis, konsep negara hukum memang dapat meramu suatu jalan menuju tujuan hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Namun, dalam praktik konsep negara hukum acapkali dijadikan perisai bagi oknum untuk membebaskan diri dari proses pencarian keadilan itu sendiri. Inilah yang saya khawatirkan apa yang pernah filsuf katakan jika keadilan tertinggi adalah ketidakadilan terbesar.
Ketika kepentingan substantial tidak lebih penting daripada hal-hal bersifat teknis
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum dan perudang-undangan. Seperti mengamini asas legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, semua yang tertulis atas nama hukum harus dipatuhi. Ketika kitab menyatakan A, maka yang dilakukan harus A. Ketika undang-undang menyatakan B, maka yang dilakukan harus B. Ketika penyelidik tidak bisa melakukan tugas penyidik, ya tidak bisa.
Ketika proses penyelidikan tidak boleh disamakan dengan proses penyidikan, ya tidak bisa. Ketika tersangka merasa sebagai bukan subjek hukum (terkait perbedaan pandangan 'penegak hukum' dan 'penyelenggara negara' dalam tatanan kata undang-undang), maka bisa lepas. Tidak peduli seseorang telak bersalah atau tidak, namun apabila suatu prosedur atau makna kata tidak sesuai hukum, maling milyaran rupiah juga bisa lepas. Saya kasih tahu, begitu ilmunya. Hukum tertulis di Indonesia menjadi suatu yang cukup rigid dalam beberapa kasus.
Bahwa konsep negara hukum harus menjamin perlindungan hak asasi manusia. Betul, tapi hak asasi manusia jenis mana yang lebih dilindungi? Saya paham, jika menyeimbangkan manfaat hukum bagi seluruh elemen rakyat adalah hal yang sulit. Ada kalanya pemerintah hendak melindungi kalangan A, namun ternyata menjadi boomerang bagi kalangan B. Itu umum terjadi.
Namun, menyelami lebih dalam aliran dana hasil curian untuk mengetuk nurani dalam menentukan hak asasi mana yang patut dilindungi bukan lah hal sulit. Pasti akan ada orang-orang atau oknum yang menjerit, oh tidak bisa. Itu umum terjadi, berkelit pada suatu yang teknis untuk mengaburkan suatu yang substantif, bersembunyi di balik konsep negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan sebagainya.
Oh, saya bukan menyalahkan konsep negara hukum.
Saya bukan mengkambinghitamkan kepatuhan atas hak asasi manusia.